Ditulis Berdasarkan Pengalaman SejatiÂ
Sejak beberapa bulan terakhir ini, saya dikalahkan oleh istri dalam hal teknik menulis. Masa iya saya yang kuliah di IKIP jurusan bahasa, tapi bisa kalah dari istri yang ambil jurusan exacta?Â
Wah ternyata ini kuncinya Yakni tulisan yang bersifat "perbung" atau kisah perjalanan bersambung dari satu negara ke negara lainnya. Dan selain itu, ternyata istri punya data yang diketik rapi, siapa saja yang sudah dikunjungi dan siapa yang belum? Aduh, kalau yang bagian ini, sejujurnya saya tidak betah, heheh.
Kembali ke JudulÂ
Kebiasaan orang tua, kalau berbicara tidak bisa to the point seperti anak muda mileneal, tapi ke sana kemari baru menceritakan inti persoalan. Setidaknya ini salah satu gaya dari orang tua zaman dulu, yang lahir di era Dai Nippon. Â Nah,mengapa judul tulisan ini "Humor Kehidupan?" Karena memang bukan humor yang merupakan hasil imaginasi, tapi benar benar dialami atau dalam bahasa kerennya "from true story".
Pada awal tinggal di Australia, banyak hal yang menimbulkan kejutan bagi saya.yang membuat saya senang, kaget, dan naik darah. Salah satu kejadian adalah saat ada telpon masuk ke Ponsel saya dari seorang wanita yang menyapa selembut telur dadar, " Hi good morning Mr.Effendi" dengan suara ceria melebihi suara burung ketilang. Tentu saja perasaan saya jadi berbunga bunga. Bayangkan nama saya begitu dikenal, sehingga cewek Australia saja sampai mati-matian menelpon saya.Â
Ditawarin Rumah Masa Depan Murah BangetÂ
Tapi kegembiraan saya yang beberapa saat meluap, tetiba bagaikan luapan coca-cola. Tetiba berubah menjadi berang. Tensi saya yang biasanya 120/80 naik menjadi 200/120. Saya sungguh berang dan tanpa sadar memaki dalam bahasa Padang, "Indak bakarunciangan  paja ko" (maaf, jangan ditiru ya). Mengap bisa begitu cepat chatting yang menggembirakan bisa berubah bagaikan tsunami memupus habis semuanya?Â
Bayangkan, saya ditawarin "Rumah masa depan" yang harganya murah banget, yakni antara 10 hingga 15 ribu dolar. Ternyata yang dimaksudkan dengan rumah masa depan adalah kuburan. Saya yang masih muda ginian ditawari untuk mempersiapkan acara penguburan diri! Mau peti mati dari papan biasa atau kayu tebal? Acara pemakamanan pakai musik atau tidak? Rasanya kemarahan saya sudah menembus ubun-ubun dan segala sumpah serapah berhamburan dalam hati saya. Saking marahnya, saya langsung bilang, maaf saya lagi mau buru-buru. Dan dari seberang sana, masih dijawab dengan tertawa ceria, "Ok sorry thank you, nice talking with you Mr. Effendi."
Senjata Pamungkas
Putri kami heran menengok wajah saya yang biasanya seramah wajah malaikat, tetiba berubah jadi wajah menyeramkan. "Papa mengapa marah marah?"Â