Sebuah Kritik Diri dan Sekaligus PembelaanÂ
Hidup itu penuh dengan plihan demi pilihan. Sejak dari mulai membuka mata di pagi hari,kita sudah dihadapkan pada sebuah pilihan,yakni tetap melanjutkan tidur ataukah bangun dan bersyukur bahwa kita masih hidup ? Selanjutnya  pilihan lain adalah begitu bangun,terus mandi ataukah langsung menghadap "tuhan" ciptaan manusia,yakni gawai yang sudah membius dunia? Masih dilanjutkan dengan pilihan lain yakni mulai menyapa pasangan hidup kita dan anak anak ataukah merasa lebih penting menyapa istri atau suami orang lewat Hape yang ada ditangan?  Dan seterusnya dan seterusnya ,hingga mentari condong dan malam tiba . Setiap orang secara bebas mendapatkan kesempatan untuk memilih dengan catatan :"Setiap pilihan  selalu diikuti dengan resiko " yang merupakan satu paket. Tidak ada pilihan tanpa resiko. Contoh aktual :" tidak mau makan,berarti siap untuk lapar"
Kembali ke Judul
Ada banyak lagu lama,yang selalu diputar ulang. Misalnya lagu :"Bengawan Solo, Selendang Sutra, Bandung Selatan ,Doa dan Restumu" dan seterusnya . Masih ada lagu lagu daerah,seperti :"Takana jo kampuang" atau "Minangkabau tanah nan den cinto" ,lagu Butet. Sing Sing So ,Angin Mamiri dan seterusnya. Tidak ada yang melarang kita menyanyikannya  ,walaupun suara kita serak serak parau,selama tidak menyanyikannya di telinga orang .
Atau boleh juga di analogikan pada nasihat yang terkesan usang .Misalnya :"Kejujuran adalah mata uang yang berlaku universal." ,Jangan ada dusta antara kita, Jangan ada dendam dan kebencian.,yang merupakan nasihat usang ,tapi rasanya masih tetap uptodate untuk diulangi lagi dan lagi
Resikonya :
Resikonya,yang mau mendengarkan lagu lagu "kuno" tersebut sangat sedikit,karena di era terkini mayoritas orang senang lagu yang hot hot. bukan lagu yang bernada "nina bobok",yang boleh jadi bagi generasi muda,merupakan lagu yang memuakkan dan jangan berharap akan ada tepuk tangan ,seperti kalau menyanyikan lagu lagu pop atau rock n rollÂ
Kilas Balik Dalam Menulis
Walaupun beda ruang dan beda cita rasa,analogi ini dapat diterjemahkan dalam dunia tulis menulis. Setiap orang bebas menulis sesuai passionnya,selama mengikuti kaidah kaidah yang ditetapkan oleh Admin. Kalau mau menulis dengan gaya:" suka suka gua " tentu bukannya  tidak boleh,tapi menulisnya di catatan harian atau diblog pribadi kita,bukan diblog milik orang lain.
Nah,menulis ulang atau istilah terkini "re-write " tulisan tulisan yang terkesan kuno dan berisi nasihat nasihat yang mungkin bagi mayoritas pembaca adalah bagaikan nasi basi, resikonya  adalah sepi dari pembaca. Kalau mau banyak jumlah pembaca,maka tulislah sesuatu sesuai trend masa kiini. Kita tinggal memilih,mau menulis sesuai passion dengan resiko sepi pembaca,tapi menghadirkan kelegaan di hati . Atau memilih jalan lain. Tidak satu jalan menuju ke Roma,maka begitu juga tidak satu jalan untuk menjadi seorang Penulis . The choice is yours,but your choice is your life"Â
Dan saya memilih :"Aku masih seperti yang dulu" ,walaupun tahu resikonya,tulisan saya akan sepi dari pembaca.Kalau saya mau tulisan saya banyak yang baca atau ditempatkan di Artikel Utama,maka saya harus mau mengubah pilihan .Tapi karena bersikukuh untuk tetap menulis sesuai passion,akibatnya harus mau ditanggung dengan ikhlas,yakni sepi pembaca  Inilah namanya kehidupan,setipa pilihan akan disertai dengan resiko yang menyertainya.Gaya menulis orang lain mungkin sangat bagus,tapi belum tentu cocok dengan tujuan kita menulis  Bila kita sudah memilih,mengapa harus menyalahkan orang lain?
Sebuah renungan kecil di hari Minggu pagi .Terima kasih kepada teman teman yang masih menyenangi lagu lagu lama.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H