Hanya Sebuah Pertanyaan Sederhana
Pagi tadi saya dapat pesan singkat via WA,dari salah seorang keponanakan saya. Isinya singkat saja :" Opa,kabarnya masih menyetir kendaraan sendiri?Â
Mengapa harus ambil resiko ? Opa kan sudah 77 tahun. Lebih baik naik bis atau minta cucu yang antarkan.Terlalu besar resikonya Opa. Maaf ya ,Yeni cuma kuatir saja" Bagaimana perasaan saya?Â
Sejujurnya tentu saja saya senang mendapatkan perhatian dari salah satu keponakan  kami. Perhatian yang tulus,karena menguatirkan keselamatan kami,mengemudi setiap hari.Â
Karena secara umum,orang beranggapan bahwa usia 77 tahun,sudah terlalu beresiko mengemudikan kendaraan ,apalagi setiap hari. Saya tidak ingin mengecewakan Yeni yang sudah bermaksud baik mengingatkan, walaupun sesungguhnya saya berbeda pendapat dalam hal ini.
Karena itu saya hanya menjawab:" Oya terima kasih ya Yeni,sudah mengingatkan Opa" Kalimat yang mengambang, karena tidak menolah saran,tapi juga tidak mengiyakan.
Hidup Tanpa Resiko ,Mungkinkah?
Ketika kita manfaatkan waktu beberapa detik untuk mencari jawabannya,maka dengan segera kita sudah menemukan jawabannya,yakni :"Tidak ada seorangpun yang bisa hidup tanpa resiko. Â
Begitu kita melangkah keluar rumah. maka walaupun kita selalu mengharapkan yang terbaik bagi diri,tapi kita tidak mungkin dapat memastikan,bahwa tidak akan ada bahaya yang dapat menimpa kita.Â
Bisa saja, begitu kita melangkah keluar pagar rumah,tiba tiba ada kendaran yang remnya blong meluncur kearah kita dan seterusnya.Â
Nah, apakah karena demi menghindari resiko,kita siap untuk lakukan self lockdown seumur hidup? Kalau jawabannya tidak,maka berarti kita harus siap menghadapi resiko