Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Siraman Rohani: Memberi Itu Membahagiakan

18 Mei 2020   08:45 Diperbarui: 18 Mei 2020   09:50 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ket. foto; untuk berbagi tidak harus dengan orang seiman /dokpri

Menerima Itu Menyenangkan 

Saya tidak berani ikutan menulis tentang "siraman rohani" karena rohani saya sendiri masih kering kerontang dan butuh disirami setiap hari agar jangan sampai layu dan mengering. Apa yang saya tulis ini seperti biasanya hanyalah ciloteh seorang kakek yang dalam kondisi pensiun sudah tidak dapat lagi memainkan peran sebagai Sinterklas. 

Dulu, sewaktu masih aktif sebagai pengusaha saya dijuluki Sinterklas karena kemana mana selalu membawa hadiah atau oleh oleh. Tapi seperti kata peribahasa"Lain Bengkulu, lain Semarang. Lain bau Bolu ,lain pula bau  kerang" yang maksudnya lain dulu lain sekarang. Kini setelah pensiun saya harus tahu diri bahwa posisi saya sekarang adalah menerima Ternyata menerima itu memang sangat menyenangkan, bayangkan sejak mulai diundang makan, dikasih beragam hadiah oleh mantan murid murid, malahan ada yang kasih angpau dalam jumlah yang fantastis, wuiih senang banget rasanya. Apalagi yang mengundang makan dari mulai mantan murid SD, mantan siswa SMP Pius, dimana dulu saya pernah mengajar dan dari puluhan keponakan kami. dan putra kami yang berada di Jakarta.

Nah, kalau di Australia selain dari diundang makan oleh teman teman sesama orang Indonesia, siapa lagi kalau bukan anak mantu cucu kami. Selain dari undangan makan, ada puluhan pakaian dingin, jaket kathmandu, jam tangan dan segala jenis makanan dan cokelat, malahan ada hadiah kendaraan Nissan X trail yang masih baru dari putra kami.

Memberi itu Membahagiakan

Dulu sewaktu hidup kami masih morat marit, sejujurnya saya heran dan sama sekali tidak bisa menerima peribahasa yang mengatakan "Berbahagialah yang memberi, daripada yang menerima".

Dalam hati saya pada waktu itu "Ah,nonsenlah, ngaco, mana mungkin memberi bisa lebih bahagia daripada menerima?" Tapi sewaktu gempa bumi di Yogya, saya dan istri membawa kendaraaan yang kami isi sarat dengan bahan makanan yang kami beli di Solo dan sewaktu membagi bagikan kepada warga yang sama sekali tidak kami kenal, pada saat menyaksikan bagaimana warga menerima bingkisan dari kami dengan air mata berlinang linang, sambil berulang kali mengucapkan "Terima kasih dan Alhamdulilah" sejujurnya, saya baru sungguh memahami bahwa memang benar "Berbahagialah yang memberi daripada yang menerima" Tanpa perlu penjelasan apapun lagi

Pencerahan diri yang saya dapatkan setelah secara langsung menyaksikan penderitaan orang lain. dengan berkunjung ke panti panti asuhan dan mengujungi orang orang yang hidup dikolong jembatan. Sungguh, menerima itu menyenangkan hati tapi memberi itu menghadirkan sungguh membahagiakan.

Sekali lagi, tulisan ini bukanlah siraman rohani, hanya sekedar berbagi sepotong kisah bagaimana saya menemukan butir butiran mutiara hidup dalam perjalanan hidup kami

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun