Ketika istri dan putri kami meninggalkan ruangan untuk pulang ke  rumah, saya sungguh merasa sangat sedih. Rasa sakit yang saya rasakan berpuluh kali lipat dibandingkan dengan ketika saya dioperasi hingga tiga kali di Singapore.Â
Malam itu saya tidak bisa tidur. Selain dari rasa sakit yang amat sangat di dalam dada, juga merasa sedih berada diruang isolasi, di mana setiap kali perawat datang untuk memeriksa, mereka bukan saja menggunakan masker, tapi berpakaian seperti orang mau ke bulan.Â
Saya berharap, agar pagi segera tiba, agar istri saya bisa datang menengok saya. Ternyata dalam kondisi yang parah, seluruh pertahanan saya bobol. Biasanya saya mampu menahan sakit, bahkan ketika paha saya tertusuk bambu hingga menembus hampir ke batas perut, karena tidak ada yang berani membantu mencabutnya, maka saya cabut sendiri.Â
Tapi kini, semua kebanggaan diri saya, seakan meluntur dan pupus. Apalagi mendengar suara istri saya ditelpon yang berusaha menahan tangisnya.
Selama hampir sebulan dikarantina, tubuh saya susut dari 75 kg, tersisa 59 kg. Syukur kepada Tuhan, akhirnya dokter Morentos, Specialist  ahli penyakit paru, datang dan merobek kertas di depan kamar saya yang bertuliskan, "Karantina" dan kemudian berdiri di depan saya dan merobeknya, sambil berkata, "Effendi, now You are free!" Ternyata hasil analisa tim dokter, saya tidak terkena TBC, walaupun infeksi paru saya sangat parah..
Istri saya yang menyaksikan sangat senang dan langsung memeluk saya. Seminggu kemudian, saya sudah boleh pulang ke rumah.Â
Nah, bagi yang belum pernah merasakan dikarantina, mohon tidak perlu membuktikannya, cukuplah membaca tulisan pengalaman peribadi saya ini.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H