Terlahir dalam keluarga miskin, sejak kecil saya sudah harus merasakan kepahitan hidup. Setelah sarapan bubur dengan sesendok tauco, saya ke sekolah jalan kaki dengan sepatu dijinjing agar awet. Begitu tiba di depan pintu pagar sekolah, sepatu saya pakai.
Ketika anak-anak lain menikmati makan sate atau es cendol dengan uang jajan mereka saat istirahat, saya cukup puas dengan minum air leiding secara sembunyi-sembunyi agar tidak jadi bahan tertawaan teman-teman.Â
Seperti yang sudah pernah saya ceritakan, bukannya orang tua pelit, tapi ayah menghidupi kami anak-anaknya dengan menjadi kusir bendi. Penghasilannya hanya cukup untuk biaya dapur.
Kakak saya yang sudah bekerja tak lebih enak hidupnya daripada saya. Setiap pukul 4.00 subuh sudah jalan kaki dari rumah orangtua kami di Pulau Karam ke tempat kerjanya di pabrik yang jaraknya sekitar 5 km. Pada waktu itu, jangankan sepeda motor, sepeda  saja tidak ada di rumah kami.Â
Ditempa oleh pahitnya kehidupan membuat saya menjadi sosok yang keras dan pantang menyerah. Termasuk bila saya berkelahi melawan anak-anak yang jauh lebih besar, saya tidak memiliki rasa takut sedikitpun. Karena itu, saya mendapatkan gelar "Pareman" di kampung saya.
Ditolong Orang Tak Dikenal
Saking bandel dan tak kenal rasa takut, berkali-kali saya hampir menemui ajal. 3 kali hampir tenggelam ,diselamatkan oleh nelayan.
Kelak ketika saya dibonceng teman dengan vespa dan menabrak pohon kenari di Muara Padang, saya pingsan dan baru sadar ketika berada di Rumah Sakit Umum, yang pada waktu itu masih bernama Rumah Sakit Jati.
Saya hanya dapat kabar dari perawat bahwa saya diselamatkan oleh seorang anggota TNI. Namun setelah sembuh, saya tidak berhasil menemukan orang yang menolong saya karena tidak tahu alamatnya.
Kemudian, ketika saya terburu-buru mau menjemput istri saya, yang pada hari itu di Wisuda di IKIP Air Tawar di Padang, tiba-tiba di depan saya melintas seorang tua yang menuntun sepeda. Saya mencoba mengerem laju kendaraan agar tidak menabrak orang tua tersebut.
Secara tiba-tiba saya belokan sepeda motor yang sedang saya kendarai. Akibatnya saya terhempas di aspal dan kemudian tidak sadar diri. Baru sadar ketika saya berada di Rumah Sakit Yos Sudarso dan ternyata di sana sudah ada istri saya yang menjaga dengan cemas.
Istri saya ke rumah sakit diantarkan teman-temannya yang sama-sama diwisuda pada hari itu. Siapa yang pertama menyelamatkan saya? Hingga kini saya tidak tahu.