Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

30 September 2019, Genap 10 Tahun "Kiamat" di Padang

29 September 2019   04:49 Diperbarui: 29 September 2019   06:39 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.195 Orang Tewas dan 4,8 Triliun Amblas Akibat Gempa Padang

30 September 2009, sepuluh tahun lalu, di kampung halaman saya di Sumatera Barat terjadi "kiamat" akibat gempa bumi yang dahsyat. Dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat pada pukul 17:16:10 WIB, jumlah korban tewas akibat gempa tersebut mencapai 1.195 orang dengan rincian Kota Padang 383 orang, Kabupaten Padang Pariaman (666), Kota Pariaman (48), Kabupaten Pesisir Selatan (11), dan Kabupaten Agam (81).

"Sementara itu, di Kabupaten Pasaman Barat korban tewas sebanyak 5 orang, korban luka berat 619 orang, dan korban luka ringan 1.179 orang," ujarnya. Dia menambahkan, rumah yang rusak berat sebanyak 119.005 unit, rusak sedang (73.733), dan rusak (78.802 unit). (sumber: edukasi.kompas.com)

dok. pribadi
dok. pribadi
Kami Sedang Berada di Tokyo bersama Putra Kami Sekeluarga
Ada pesan masuk di ponsel, bahwa ada gempa dahsyat melanda Sumatera Barat. Pada awalnya, kami tidak yakin. Tapi melihat si pengirim adalah salah seorang keponakan kami di Jakarta, maka kami langsung tersentak dan menelpon ke Padang, tapi tidak satupun nomor yang dihubungi dapat tersambung.

Bagaimana rasa hati kami pada waktu itu, sulit dilukiskan dengan kata-kata. Malam itu kami semua tidak bisa tidur. Menjelang subuh, baru hubungan dapat tersambung dengan salah satu keponakan saya.

Ketika saya bertanya, bagaimana keadaan keluarga di Padang? Ia terdiam dan baru menjawab beberapa saat kemudian.

"Saya dan keluarga selamat, Om, tapi saudara kita yang lain belum dapat dihubungi. Saya lagi berada di luar rumah. Mencoba membantu apa yang bisa saya lakukan. Besok saya kabarkan ya, Om," katanya mengakhiri pembicaraan. Sangat kentara, suaranya bergetar menahan tangis. Padahal tidak biasanya begitu.

Dari Jepang, Kami Langsung ke Padang
Rencana untuk memperpanjang liburan di Jepang kami batalkan. Kami langsung ke Padang menyaksikan betapa gempa telah menghancur leburkan kampung halaman kami, sungguh tak kuasa menahan jatuhnya air mata. Apalagi mendengarkan kisah-kisah memilukan yang tidak tega saya cerita ulang di sini.

Putra kami juga menitip dana untuk membantu siapa saja yang bisa kami bantu, tanpa membedakan suku dan keturunan, serta agama.

"Om. bagi saya dunia sudah kiamat, Om. Suami dan anak-anak tewas tertimpa runtuhan. Saya selamat karena lagi berada di luar rumah. Seharusnya saya bersama suami dan anak-anak. Kini untuk apa saya hidup?" kata salah seorang tetangga kami.

Mulut saya terasa bagaikan terkunci dan sama sekali tidak mampu memberikan penghiburan. Selama seminggu kami di Padang, setiap hari kami mendengarkan kisah-kisah memilukan hati yang tidak tega saya ceritakan semuanya di sini. Karena kalau dibaca oleh kerabat kami, bagaikan mengorek luka lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun