Kebebasan Pers yang Kebablasan?
Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar dan seterusnya dan seterusnya.
Namun sebagai orang awam terhadap aturan hukum yang berlaku, rasanya media sudah terlalu jauh bertindak, yakni melakukan penghakiman terhadap orang yang sudah meninggal, sehingga tidak dapat melakukan pembelaan atau setidaknya, memberikan "hak jawab".
Sebulan lalu seorang jurnalis Amerika Serikat (AS), William Langewiesche, menulis di The Atlantic dan menyebutkan bahwa Pilot MH370, Zaharie membunuh ko-pilotnya, Fariq Hamid, agar tak menghalangi niatnya.Â
Kemudian kapten pilot ini menambah tekanan di kabin penumpang, sehingga seluruh penumpang meninggal. Setelah itu dia menghujamkan  pesawat ke laut.
Seluruh penyelidikan itu menyebutkan, pesawat membelok secara tidak wajar, dan gerakan tersebut hanya bisa dilakukan 777 saat dalam kendali manusia. Dugaan ini dilengkapi pula hasil pemeriksaan psikologis sang pilot, sebelum kejadian bertanggal 8 Maret 2014 tersebut.
Dalam bahasa vulgarnya, pilot pesawat naas MH370, Zaharie telah membunuh co-pilotnya, Fariq Hamid kemudian membunuh seluruh penumpang dan kemudian bunuh diri dengan jalan menghujamkan pesawat ke laut.Â
Tak terbayangkan, betapa hancurnya hati keluarga pilot bersangkutan. Sudah kehilangan orang yang dicintai, masih dituduh sebagai pembunuh berdarah dingin.
Tuduhan Berganti Arah
Tuduhan bahwa Pilot telah melakukan hal yang sangat mengerikan, sama sekali belum dapat dibuktikan, ternyata kemudian tuduhan berganti arah.Â