Ada kalanya kita harus mengedepankan hati, terutama bila berhadapan dalam masalah kekeluargaan, persahabatan dan hal hal yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Karena bilamana mengedepankan logika, maka titik tolaknya bertumpu pada untung dan rugi.Maka secara tanpa sadar, orang sudah menggiring dirinya menjadi sosok yang egois dan bersikap apatis terhadap berbagai kejadian yang menimpa diri orang lain. Yang ada dalam benak orang dengan tipe ini adalah :"kalau yang ditimpa kemalangan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga saya,berarti bukan urusan saya. "
Misalnya ada korban tabrak lari tergeletak berlumuran darah dijalan,orang dihadapkan pada pilihan, yakni:Â
- turun dan kendaraan dan berusaha membantu korban,walaupun sama sekali tidak mengenal korban
- atau pura pura tidak melihat dan melanjutkan perjalanan seakan tidak ada apa apa yang terjadi
- Disaat saat seperti  inilah sikap mental seseorang diuji.Â
Secara hukum tidak bisa dituntut ,karena memang sama sekali tidak ada kaitannya dengan jatuhnya korban karena pelakunya melarikan diri.Namun hidup tidak hanya terpaut dengan hukum berdasarkan undang undang, melainkan terhubung dengan harkat dan nilai kemanusiaan yang ada dalam diri setiap orang.
Orang yang secara berulang kali mengabaikan kesempatan untuk membantu orang ,maka hari nuraninya menjadi tumpul dan tidak lagi peka akan berbagai peristiwa hidup yang menimpa orang lain.
Ada Waktunya Kita Menolong Orang dan Terkadang Tiba Saatnya Kita Yang Ditolong
Saya tidak ingat lagi, apakah sudah pernah menuliskan tentang pengalaman menolong anak yang jadi korban tabrak lari sewaktu saya masih di Padang, Anak yang berusia sekitar 9-10 tahun itu tampak mengelepar gelepar berlumuuran darah dan kemudian diam.Â
Ada puluhan orang yang mengelilingi anak tersebut tapi tak tampak ada yang tergerak untuk membawanya ke rumah sakit. Saya sedang terburu buru menuju ke Teluk Bayur untuk mengurus kelengkapan surat surat agar barang saya bisa diberangkatkan. Saya harus memilih, mendahulukan kepentingan bisnis atau membantu anak tersebut.Â
Saya memutuskan untuk berhenti dan membawa anak tersebut dengan ditemani tetangganya ke rumah sakit terdekat. Setibanya di rumah sakit, ternyata tidak dapat langsung dibawa ke ruang unit gawat darurat karena harus ada yang menjamin (pada waktu itu belum ada BPJS).
Nah,setelah menitip sejumlah uang dan ktp saya, bilamana ada yang kurang, saya pamit untuk menyelesaikan urusan bisnis saya. Syukurlah anak tersebut berhasil diselamatkan. Saya tidak sempat bertemu orang tuanya dan merasa tidak perlu menunggu ucapan terima kasih.Â
Saatnya Saya yang Terkapar dan Ditolong Orang Lain
Di lain waktu, karena terburu buru,saya menggunakan sepeda motor, agar lebih praktis. Tapi mungkin karena pikiran terfokus pada urusan bisnis, maka saya menjadi lengah dan terserempet oleh kendaraan. Tubuh saya terasa melambung dan sesaat terasa kesakitan yang amat sangat dan kemudian tidak ingat apa apa lagi.
Ketika sadar, baru tahu bahwa saya sudah dirumah sakit Disana sudah menunggu istri saya. Rupanya saya terjatuh akibat terserempet kendaraan dan pingsan, sedangkan yang menabrak saya melarikan diri. Kabarnya saya ditolong oleh seorang anggota TNI, namun tidak tahu namanya.
Saya berusaha untuk mencari informasi agar dapat mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong, tapi tidak pernah bertemu.
Pelajaran dari Universitas  Kehidupan
Hal tersebut diatas hanya sebagai contoh saja. bahwa dikala berhadapan dengan sisi kemanusiaan, apalagi ada yang butuh pertolongan kita, makan jangan pernah mengedepankan logika semata.Melainkan harus mendapatkan petimbangan dari hati, bahwa keselamatan orang, jauh lebih berharga ketimbang nilai bisnis, yang mungkin terlewatkan,akibat membantu orang lain. Dan tak kalah pentingnya, menolong orang adalah menolong diri sendiri.
Seandainya, pada waktu anak tersebut diatas terkapar dan saya pura pura tidak melihat, karena mendahulukan urusan bisnis saya, maka kemungkinan ketika tiba giliran saya yang terkapar tak sadar diri ditengah jalan, boleh jadi tidak ada yang terbuka hatinya untuk menolong saya. Karena hukum tabur dan tuai, tidak mengenal suku bangsa dan agama, melainkan berlaku secara universal.Â
Entah sudah berapa kali kami selamat dari maut, sungguh saya tidak bisa menghitungnya dengan tepat. Misalnya, rem blong, ban pecah ketika kendaraan meluncur dengan kecepatan 100 Km perjam di jalan toll, baut penggunci roda lepas dan seterusnya. Karena itu semakin meyakinkan saya bahwa hukum tabur dan tuai itu sungguh sungguh terjadi.
Hidup ini sungguh merupakan proses  pembelajaran diri tanpa akhir. Seperti kata peribahasa: "Belajar dari sejak buaian, hingga keliang lahat" Belajar di sekolah, kita akan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Belajar dari Universitas Kehidupan,akan menghadirkan kearifan dalam diri kita untuk memaknai arti perjalanan hidup kita. Bahwa keindahan hidup itu tidak semata tergantung kepada hebatnya diri kita, melainkan seberapa berarti hidup kita bagi orang lain
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H