Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Logika dan Hati Nurani

4 November 2018   17:49 Diperbarui: 6 November 2018   02:40 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lain waktu, karena terburu buru,saya menggunakan sepeda motor, agar lebih praktis. Tapi mungkin karena pikiran terfokus pada urusan bisnis, maka saya menjadi lengah dan terserempet oleh kendaraan. Tubuh saya terasa melambung dan sesaat terasa kesakitan yang amat sangat dan kemudian tidak ingat apa apa lagi.

Ketika sadar, baru tahu bahwa saya sudah dirumah sakit Disana sudah menunggu istri saya. Rupanya saya terjatuh akibat terserempet kendaraan dan pingsan, sedangkan yang menabrak saya melarikan diri. Kabarnya saya ditolong oleh seorang anggota TNI, namun tidak tahu namanya.

Saya berusaha untuk mencari informasi agar dapat mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong, tapi tidak pernah bertemu.

Pelajaran dari Universitas  Kehidupan

Hal tersebut diatas hanya sebagai contoh saja. bahwa dikala berhadapan dengan sisi kemanusiaan, apalagi ada yang butuh pertolongan kita, makan jangan pernah mengedepankan logika semata.Melainkan harus mendapatkan petimbangan dari hati, bahwa keselamatan orang, jauh lebih berharga ketimbang nilai bisnis, yang mungkin terlewatkan,akibat membantu orang lain. Dan tak kalah pentingnya, menolong orang adalah menolong diri sendiri.

Seandainya, pada waktu anak tersebut diatas terkapar dan saya pura pura tidak melihat, karena mendahulukan urusan bisnis saya, maka kemungkinan ketika tiba giliran saya yang terkapar tak sadar diri ditengah jalan, boleh jadi tidak ada yang terbuka hatinya untuk menolong saya. Karena hukum tabur dan tuai, tidak mengenal suku bangsa dan agama, melainkan berlaku secara universal. 

Entah sudah berapa kali kami selamat dari maut, sungguh saya tidak bisa menghitungnya dengan tepat. Misalnya, rem blong, ban pecah ketika kendaraan meluncur dengan kecepatan 100 Km perjam di jalan toll, baut penggunci roda lepas dan seterusnya. Karena itu semakin meyakinkan saya bahwa hukum tabur dan tuai itu sungguh sungguh terjadi.

Hidup ini sungguh merupakan proses  pembelajaran diri tanpa akhir. Seperti kata peribahasa: "Belajar dari sejak buaian, hingga keliang lahat" Belajar di sekolah, kita akan mendapatkan ilmu pengetahuan.

Belajar dari Universitas Kehidupan,akan menghadirkan kearifan dalam diri kita untuk memaknai arti perjalanan hidup kita. Bahwa keindahan hidup itu tidak semata tergantung kepada hebatnya diri kita, melainkan seberapa berarti hidup kita bagi orang lain

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun