Menulis Kebohongan Berarti Mengabadikan KebohonganÂ
Saking seringnya berbohong dapat menjadikan orang yang berbohong,secara tanpa sadar, yakin bahwa kebohongannya adalah sebuah kebenaran. Karena semakin sering orang berbohong, maka rasa percaya dirinya akan terus tergerus, hingga suatu waktu, tidak dapat lagi membedakan,mana yang kejadian sesungguhnya dan mana yang merupakan imaginasinya.
Berbohong secara lisan akan didengar dan dingat oleh beberapa orang dan mungkin masih dapat dibantah, bahwa orang salah dengar atau salah menginterprestasikan  apa yang di katakan. Tapi bila menuliskan cerita bohong dan mengakui seakan merupakan kejadian yang dialami, maka kebohongan itu akan menjadi abadi.
Kelak tidak hanya akan dan mempermalukan  diri sendiri, melainkan seluruh anggota keluarga. Sekali saja kita menuliskan tentang kebohongan dan ketahuan, maka apapun yang kita katakan atau kita tulis selanjutnya, walaupun sungguh sungguh terjadi, tak akan ada lagi yang mau mempercayainya.
Kata Mark Twain :"If you tell the truth,you don,t have to remember anything"Â Yang dapat diterjemahkan secara bebas: "Kalau anda menceritakan kebenaran, maka anda tidak perlu mengingat apapun. Karena kapanpun ditanyai orang ,maka tanpa harus berpikir terlebih dulu,jawabannya sudah ada,karena memang merupakan cuplikan biografi kita.
Akan tetapi bilamana kita mengarang cerita,agar orang kagum pada diri kita, maka cerita bohong ini harus terus diingat ingat, sehingga bila ada yang menanya, harus dijawab, sesuai dengan kebohongan pertama. Karena itu, bilamana kita menuliskan  tentang biografi kita, jangan dicampur aduk dengan imaginasi.
Harus ada sekat yang jelas dan tegas, yang membedakan antara menuliskan kisah nyata dan imaginasi. Hal ini untuk menjaga, seandainya ada orang yang melakukan cross check, tentang apa yang kita tulis, maka kita tidak akan dipermalukan. Karena sekali menuliskan kebohongan, maka akan menjadi tugu kebohongan sepanjang hayat kita, bahkan setelah kita tiada, stigma sebagai: "Penulis Kebohongan" akan terus terpateri pada nama kita.
Mungkin Perlu Berbohong 100 Kali LagiÂ
Cukup sekali saja kita berbohong,maka boleh jadi kelak kita harus mengarang kebohongan lagi hingga lebih dari seratus kali,hanya untuk menutupi kebohongan pertama. Misalnya, ketika saya menuliskan bahwa dulu kami tinggal di pasar Tanah Kongsi yang kumuh.
Maka ketika ada yang bertanya,tahun berapa kami dulu tinggal di sana? Dimana? Bertetangga dengan siapa? Bayangkan,betapa sibuknya saya harus mengatur dan mengarang kebohongan lagi, agar kebohongan pertama dapat ditutupi.