Orang boleh saja menyandang gelar Sarjana berlapis lapis, bahkan mungkin malahan bergelar Profesor. Namun gelar, hanya predikat yang merujuk pada disiplin ilmu yang ditekuni, bukan merupakan gambaran kepribadiannya. Karena cermin dari kepribadian seseorang, ditakar dari cara berbicaranya dan kata-kata yang keluar dari mulutnya.Â
Karena itu, tokoh-tokoh masyarakat di desa desa,sangat dihormati dan dihargai oleh warganya, bukan karena titel yang disandangnya, melainkan karena budi pekerti dan kepribadiannya yang mencerminkan, bahwa memang dirinya, layak untuk dijadikan panutan dan dihargai.
Pintar Tapi Tidak Terdidik
Sebaliknya, kita saksikan sendiri bahwa banyak orang yang membanggakan titel yang disandangnya, bahkan mungkin saja yang bersangkutan menjadi guru besar dibidang keilmuan, namun hal ini tidak menjadikan dirinya serta merta sosok yang terdidik, Karena sifat sifat orang terdidik,dapat diukur atau ditakar berdasarkan beberapa hal, antara lain:
- Sikapnya dalam berinteraksi dengan orang lain
- Tutur kata yang keluar dari mulutnya
- Kemampuan untuk mengontrol diri dalam situasi apapun
- Arif dalam memilih kosa kata yang santun dan berkepatutan
- Tidak menempatkan diri sebagai sosok yang paling pintarÂ
Tidak  Menggunakan Bahasa: " Preman"
Bahasa preman adalah bahasa yang biasa digunakan dikalangan orang orang yang tidak terdidik. Apa yang terasa terus dikatakan,tanpa menggunakan penapis terlebih dulu. Dikalangan preman, kata-kata santun, malahan akan jadi bahan tertawaan karena dianggap: "kurang maco". Maka kata-kata: "Jongos, babu, pekok, goblok dan seterusnya adalah "santapan rohani" kaum preman di pasar atau di terminal bus.
Kalau orang terdidik, mungkin karena faktor kondisi kesehatannya atau bisa jadi faktor genetik, pelan-pelan mulai memasuki tahap kepikunan, maka paling yang diucapkan adalah kata-kata yang itu itu saja dan tidak menggunakan kosa kata yang akrab dikalangan perman, kelas bawah. Kalau dikalangan tukang catut dan preman tukang peras, maka kata-kata: "mutiara" seperti contoh di atas, adalah bagaikan siraman rohani bagi mereka,
Alangkah Naifnya Mengata ngatai Bangsa Sendiri
Kalau antara sesama preman, maka saling  memaki, sama  sekali tidak akan melukai antara mereka, bahkan dirasakan seperti masakan pedas, namun dinikmati oleh kalangan mereka Tetapi satu kata: "pekok" atau "jongos" yang ditujukan kepada seseorang, akan melukai hatinya sepanjang hayat, Karena itu sangat disayangkan, bahwa diera milineal ini, ternyata kosa kata yang dulunya hanya akrab dikalangan preman kelas bawah, malah sudah menular kepada orang-orang yang statusnya adalah orang terhormat.Â
Padahal, sesungguhnya,mengatai ngatai bangsa sendiri, dengan sebutan yang menghina adalah aib yang tak akan pupus hingga akhir hanyatnya. Tanpa perlu menyebut nama, sesungguhnya pada keningnya sudah di meterai, sebagai orang yang tega menista bangsanya sendiri.