Walaupun ada pribahasa yang mengatakan bahwa, "Barang siapa menabur kebaikan,maka ia akan menuai kebaikan " ,tapi jangan sampai disalah artikan.bahwa setiap kali kita menolong orang,dengan berharap,bahwa kita akan mendapatkan balasan kebaikan juga. Karena bila hal ini yang menjadi patokan,maka percayalah,hanya akan menyebabkan kita menuai kekecewaan demi kekecewaan. Karena orang yang kita tolong,belum tentu berterima kasih kepada kita,malahan tidak jarang justru membalas air susu dengan air tuba.Â
Memberikan pinjaman kepada orang yang lagi susah,dengan berharap bahwa kelak ketika kita membutuhkan pertolongan,maka secara serta merta,kita akan ditolong,karena kita sudah menabur kebaikan kepadanya maka percayalah kita akan kecewa. Â
Karena tidak jarang,uang yang dipinjamkan tanpa bunga dan tanpa mengharapkan balas jasa justru akan menjadi bumerang bagi kita,yakni orang yang ditolong,yang dulunya adalah sahabat baik kita, semakin hari semakin menjauh dan malahan akhirnya  putus hubungan persahabatan. Sehingga kekecewaan kita akan berlipat ganda,yakni uang yang dipinjamkan tidak dikembalikan bahkan diri kita dimusuhi.
Membantu sanak famili yang sedang susah dengan setulus hati ,jangan terlalu berharap bahwa orang akan merasa berhutang budi kepada kita dan siap sedia membantu,seandainya kita butuh bantuan. Belum tentu ,malahan bisa terjadi bahwa orang yang kita tolong entah karena masalah apa,memutuskan hubungan kekeluargaan dengan kita. Sudah pernah merasakannya? Kalau belum ,ya patut disyukuri. Secara pribadi saya sudah kenyang mengalami semuanya
Terus Apakah Berarti Kita Sebaiknya Bersikap Apatis Terhadap Penderitaan Orang Lain?
Pengalaman pengalaman buruk seperti yang ditulis diatas,sama sekali bukanlah untuk dijadikan  alasan,agar kita bersikap apatis terhadap penderitaan orang orang disekitar kita.Melainkan justru untuk mengubah sikap mental kita,yakni dari :"Memberi dan Berharap",menjadi :"Memberi dan Melupakan"
Tidak  ada yang salah dengan hukum :"tabur dan tuai' namun jalan yang dilaluinya tidak seperti yang kita logikakan karena alam sudah memiliki falsafahnya tersendiri yang jauh lebih arif ketimbang apa yang  kita namakan kearifan hidup. Karena alam semesta adalah macrocosmos sedangkan diri kita adalah micocosmos,yang suka atau tidak suka,harus mematuhi hukum alam. Karena itu orang perlu menjadikan alam semesta menjadi guru ilmu kehidupan,sehingga tidak harus menimba kekecewaan sepanjang hayatnya,melainkan bersyukur,karena sudah dapat menjadi pemberi. Mungkin disinilah letak makna dari kalimat:" Berbahagialah yang memberi,ketimbang yang menerima"
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H