Sudah belasan tahun saya dihantui oleh rasa berdosa. Namun saya tidak punya keberanian untuk menghubungi pak Effendi.
Sepatah kata maaf dari Pak Effendi ,maka saya dapat pergi dengan damai.
Usai membaca surat elektronik tersebut, kerongkongan saya tiba-tiba serasa kering. Mata saya nanar menatap surat tersebut. Baru kali ini saya merasakan kegalauan yang luar biasa bergolak dalam jiwa.
Saya mencoba cooling down dan tidak segera menjawab surat tersebut, karena dengan hati yang sedang galau, kalau saya paksakan menjawab, mungkin yang keluar bukanlah kata-kata maaf.
Keesokan harinya saya menerima telepon
Mungkin tidak mampu menunggu jawaban dari saya, tiga hari setelahnya ketika saya baru terbangun, tetiba ada telepon dan ternyata dari sahabat lama saya. Suaranya terputus-putus. Pecah tangisnya.
Entah karena apa, tiba-tiba, hati saya yang tadinya sempat membatu, mencair, dan luluh. Dan dengan setulus hati saya sudah memaafkan sahabat lama saya.
Saya percaya bahwa walaupun saya bukan tipe seorang agamis, tapi Tuhan telah berkenan memberikan saya kekuatan untuk dapat memaafkan sahabat saya.
Sahabat saya berkali-kali menyebutkan Tuhan Mahabesar. Ia lega karena sudah dimaafkan dan saya juga lega karena telah mampu memaafkannya dengan setulus hati.
Sebulan kemudian sahabat saya meninggal dengan damai.
Catatan: