Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jadikanlah Penghinaan sebagai Cambuk Diri

19 Mei 2018   19:12 Diperbarui: 19 Mei 2018   19:46 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(depositphotos.com)

Gimana Sih Rasanya Dilecehkan Orang?

Bagi yang belum pernah merasakan, mungkin dapat ikut merasakannya lewat cuplikan pengalaman hidup pribadi ini. Hidup itu tidak selalu mulus dan lurus. Terkadang berkelok-kelok, licin, terjal dan curam. Malahan tidak jarang, sudah hati-hati, sudah kerja keras, sudah berdoa, toh masih juga tergelincir dan jatuh.

Nah, di saat kita jatuh dan dalam kondisi keterpurukan, terjadilah proses pembedahan batin yang teramat sulit dilalui. Teman-teman, bahkan sahabat baik dan kerabat menjauh dari kehidupan kita

Jangankan singgah dan memberikan dukungan moril kepada kita, malahan untuk dapat kesempatan berbicara saja sangat sulit. Ketika mencoba mengetuk pintu rumahnya, hanya disambut di depan pintu, sambil berkata, "Maaf ya, saya lagi ada tamu penting, lain kali saja datang lagi, ya".

Sepotong Cuplikan Pengalaman Pribadi

Suatu waktu anak kami kejang-kejang, tidak ada lagi uang untuk berobat. Bahkan semua barang yang masih laku dijual sudah kami jadikan uang. Cincin kawin pun sudah terjual, bahkan jas yang dipakai sewaktu pernikahan kami juga sudah lama dijadikan uang.

Maka dengan menebalkan kulit muka, saya mencoba mendatangi salah seorang Om saya yang kaya. Mencoba mengetuk pintu hatinya, untuk meminjam uang untuk biaya berobat putra kami yang sudah seminggu tergolek dan hanya digosok dengan minyak kayu putih saja.

Ternyata, hanya diterima di depan pintu pagar sambil bertanya, apa maksud kedatangan saya. Karena tidak diundang masuk, maka sambil menahan rasa hati yang mau remuk, saya sampaikan, kalau boleh saya mau pinjam uang untuk biaya ke dokter, karena putra kami sudah semingggu sakit dan kejang kejang.

Tapi jawaban yang saya terima sungguh sangat melukai hati, yang tentu tak elok kalau saya tuliskan di sini. Maka dengan perasaan yang tidak menentu, saya pamitan. Tapi kalau saya pulang ke rumah, berarti anak kami tidak jadi berobat. Karena itu, saya beranikan diri untuk datang ke sebuah gudang dan menemui pimpinan buruh yang kebetulan saya kenal. 

Sangat bersyukur, tanpa basa basi saya langsung diterima dengan  catatan, "Aturan di sini, lu dapat upah sebanyak lu kuat angkat barang, Kalau lu nggak datang, berarti tidak ada bagian lu. Mengerti kan?" Bahasanya to the point dan kedengarannya agak kasar.

Tapi saya sama sekali tidak tersinggung, bahkan sangat berterima kasih saya diterima bekerja. Itulah awal saya kerja menjadi kuli bongkar muat demi untuk dapat uang membiayai anak berobat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun