Bila berada dalam satu lift dan didepan kita ada yang tersenyum pada kita,maka ada perasaan lega dalam hati dan spontan kita mengucapkan: "Selamat pagi pak,tinggal dilantai berapa pak?" Sebuah senyuman menjadi sarana untuk  mencairkan kebekuan dan sekaligus merupakan jembatan untuk  membuka sebuah pembicaraan. Dan hal ini tentu saja berlaku timbal balik.Tentu saja bukan berarti ,kita harus tersenyum terus sepanjang jalan.Karena bisa dianggap mengalami gangguan kejiwaan.
Tapi sebaliknya,bila yang berdiri didepan kita,walaupun wajahnya hampir beradu dengan wajah kita,memasang tampak angker atau mengalihkan pandangannya dari kita,maka secara refleks kita juga tidak akan menyapanya. Karena dengan bahasa tubuh yang disampaikan lewat wajah yang tidak sedap dipandang mata,orang sudah menutup pintu untuk sebuah percakapan.
Di Negeri Sendiri ,Senyuman Sudah Semakin Langka
Akan tetapi ,selama lebih kurang 10 tahun tinggal  di apartement,baik di Mediterania Lagoon,maupun setelah  kami pindah ke unit yang lebih kecil di Mediterania Boulevard,ternyata senyuman sudah semakin langka. Kalau ada yang memberikan sebuah senyuman ,ketika berada dalam satu lift atau sama sama duduk diruang tamu di lobi apartement,justru adalah orang asing ,yang menjadi tenaga pengajar di sekolah international disana.
Sementara sesama orang Indonesia,lebih memilih untuk tidak memberikan senyumannya ,apalagi bertegur sapa.Kecuali memang sudah kenal  sebelumnya.
Tidak jarang,dalam hati,saya merasa asing di negeri sendiri,karena jarak kami hanya terpisahkan 10 cm.bahkan tidak jarang pakaian saling bersentuhan ,kalau banyak pengguna lift,tapi semuanya beku membisu,tanpa sebuah senyuman.
Iri Hati Menyaksikan "Orang Bule" Lebih Ramah
Selama di Australia,hampir setiap hari kami bertemu dengan "orang bule" ,baik berada bersama dalam bis ,maupun di kereta api ataupun berpapasan dalam satu lift.Kalau selama ini,image saya bahwa "orang bule" adalah egois dan rasial,setelah bertemu dan bergaul dengan mereka,maka image negatif itupun pupus secara serta merta.
Bila berada dalam kereta api dan semua kursi penuh,kami tidak usah kuatir,karena dalam hitungan detik,pasti akan ada yang berdiri dan memberikan tempat duduk mereka. Karena itu,kami tidak harus buru buru mencari tempat duduk,karena yakin,akan ada yang dengan sukarela memberikan tempatanya.Karena merasa,bahwa kami berdua lebih memerlukan tempat duduk,ketimbang mereka yang masih muda.Â
Yang memberikan tempat duduknya,termasuk orang yang berpakaian jas lengkap .Yang mungkin punya kedudukan di kantor nya,namun tetap mengaplikasikan kesantunan dalam bermasyarakat.
Mereka dengan mudah memberikan senyuman dan menyapa :" Good morning.How are you to-day?" Padahal baru pertama kali bertemu.Sebuah pintu hati sudah dibukakan,untuk mengawali dengan sebuah komunikasi ringan. Hal yang tampaknya sepele ini,sudah  membuat saya dan istri tidak lagi merasa asing di negeri orang,walaupun kami merupakan super minoritas disini,karena cuma pendatang yang  menumpang hidup.