Tempo dulu dikampung halaman kami, ada begitu banyak aturan tidak tertulis dalam hidup bermasyarakat yang sifatnya mengikat. Artinya, bilamana aturan yang tidak kasat mata tersebut dilanggar, maka sebagai sanksinya yang melanggar akan jadi bahan omongan orang sekampung. Aneh rassanya, bahwa masyarakat sampai berhak masuk ke dalam kehidupan pribadi orang lain bahkan  ada yang sampai berani menegor. Padahal sama sekali tidak melanggar tata susila, tidak mengganggu siapapun serta tidak merugikan orang lain dalam bentuk apapun.
- Kalau sudah punya anak,harus pakai kain sarung dan baju kebaya
- Jangan pernah jalan sambil berpegangan tangan dengan pasangan hidupnya
- Tidak ada acara ulang tahun sama sekali
- jangan harap suami istri bisa duduk minum kopi di kedai kopi berduaan
- ibu Ibu mau berenang ? jangan coba!
- Pokoknya tugas wanita sebagai istri adalah mengurus rumah tangga titik.
- Dan seterusnya dan seterusnya
Sewaktu kakak-kakak saya menikah aturan ini masih berlaku. Walaupun sudah tidak mengenakan kain sarung dan baju kebaya, namun saya belum pernah menyaksikan kakak saya berjalan sambil berpegangan tangan dengan suami atau dengan istri mereka. Baru ketika kami menikah, maka semua aturan tersebut kami langgar total.
Langkah pertama yang kami lakukan adalah keluar dari lingkungan yang membelenggu. Kami adalah orang yang pertama pindah ke Wisma Indah I, Ulak Karang. Disana kami bebas,mau berenang, jalan pagi sambil bergandengan tangan maupun sesekali minum kopi di kedai kopi di Pondok. Kalau ada yang usil mencoba mengusik dengan mengatakan "Aduh mesranya, jalan berpegangan tangan," Maka kami akan menghentikan langkah kami dan bertanya "Maaf, kami suami istri, apakah tidak boleh jalan bergandengan tangan?" Maka satu persatu, kami bungkam dengan pertanyaan yang sama.
Hingga saat ini diusia ke 75 tahun, saya dan istri setiap kali keluar rumah selalu jalan sambil berpegangan tangan. Terkadang, kami berenang bersama minum kopi di warung kopi tanpa merasa risih, termasuk ketika kami pulang kampung ke Padang. Bersikap romantis bukan untuk mempertontonkan sesuatu yang vulgar, melainkan memberikan contoh bahwa pasangan hidup tidak hanya romantis ketika masih pacaran tapi juga ketika sudah menjadi ibu, bahkan sudah menjadi nenek dari  10 orang cucu.
Dan hal tersebut, bukan hanya sekedar untuk dikedepankan diluar, melainkan merupakan gaya dan cara hidup kami di dalam rumah tangga, sejak masih muda, hingga diusia menua. Bahkan kalau lagi mengemudikan kendaraan, saya disuapin oleh istri saya. Kami biasa makan nasi sepiring berdua, bukan karena pelit, tapi karena merasa sayang membuang buang makanan sementara ada jutaan orang yang kelaparan diluar sana.
Apa Nggak Malu Sama Anak Cucu?
Kalau memeluk wanita lain tentu harus malu tapi kalau yang dipeluk adalah wanita yang merupakan istri  yang sah, mengapa harus malu? Dengan jalan ini, sekaligus menjadi contoh untuk anak cucu bahwwa romantis antara suami istri tidak boleh terpasung oleh usia dan tradisi!
Tjiptadinata Effendi