Pencapaian Demi Pencapaian Sering Membuat Orang Lupa Diri
Ketika hidup masih morat marit, hubungan baik terus terjaga. Bukan hanya dengan para tetangga,tapi juga dengan teman teman yang berada ditempat lain.
Tetapi ketika nasib mulai berubah dan meraih pencapaian,demi pencapaian, bukannya menyukuri semuanya,malah sebaliknya sering kali membuat orang lupa diri.
Apalagi setelah menempati kedudukan yang terhormat atau menjadi pemilik dari sebuah perusahaan, jangankan teman jauh malahan tetangga juga sudah tidak lagi sempat disapa.Â
Merasa diri diatas angin,berada dalam posisi sebagai decission maker, bahkan mungkin memiliki kapasitas dalam menentukan hitam putihnya keberadaan orang lain. Merasa bahwa wewenang yang ada padanya, kehebatan yang dimilikinya,sudah menjadi abadi di dalam dirinya. Bila kondisi ini dibiarkan berlanjut,maka orang akan menjadi lupa diri.
Menganggap orang lain tidak lagi penting, merasa tidak perlu lagi menghargai orang lain,bahkan tidak lagi merasa perlu menjawab permohonan ataupun pertanyaan yang diajukan. Karena merasa tidak lagi membutuhkan orang lain.
Sebuah Contoh Yang Saya Saksikan Dengan Mata Kepala Sendiri
Menceritakan tentang kejatuhan seseorang ,untuk mempermalukan orang ,tentu adalah sebuah kenistaan .Namun orang perlu belajar ,bahwa keangkuhan diri adalah jalan menuju kehancuran. Karena itu saya tidak menuliskan nama yang sesungguhnya ataupun mengacu pada alamat yang bersangkutan.Â
Tetangga kami dulu,hidupnya tidak banyak beda dengan kehidupan keluarga kami,yakni morat marit.Kerja serabutan ,dari tahun ketahun.Namun karena tekad dan kerja kerasnya,suatu waktu mendapatkan kesempatan  mengelola sebuah proyek. Dan dalam waktu setahun,hidupnya berubah total. Pindah rumah gedung dan beli mobil mewah. Seluruh tetangga dan teman teman,ikut gembira dan bersyukur. Namun dalam waktu singkat,sikapnyapun berubah total.
Kalau bertamu kerumah orang,ia hanya membunyikan  klakson mobil dan tidak mau turun dari kendaraanya,Tuan rumah yang harus keluar dan mendatanginya di kendaraannya. Kemudian pak Tedi (bukan nama sebenarnya) pindah ke Jakarta. Sesekali pulang kampung untuk urusan bisnisnya, bertemu muka hanya disapa :" Hai". Tidak pernah mau menyempatkan diri hanya sekedar satu menit saja untuk saling bersalaman.
Perusahaannya Bangkrut