Selama 7 tahun hidup menderita lahir bathin dan tinggal di pasar kumuh bersama  istri dan anak pertama kami, terkandang membuat saya merasa frustuasi dan bertanya kepada Tuhan, apa salah kami? 7 tahun kami berdoa pagi, siang ,malam,bahkan dalam setiap tarikan nafas, kami memanggil namaMU,mengapa nasib kami tidak kunjung berubah?
Tapi belakangan kami baru menyadari,setelah hidup kami berubah total, bahwa penderitaan yang telah kami lalui selama tujuh tahun, adalah pelajaran paling berharga bagi saya,istri saya dan putra kami, agar jangan pernah menyombongkan diri. Agar selalu bersimpati dan berempathi pada semua orang yang sakit dan menderita,siapapun adanya, apapun sukunya dan  apapun agama yang diimaninya.
Memahami bahwa:
- berdoa artinya :"memohon", bukan mendikte Tuhan
- berdoa bukan tawar menawarÂ
- maunya kita ,belum tentu sesuai dengan rencana Tuhan
- mampu memahami arti tawakal
- bekerja keras dan tak pernahmenyerah,serta sabar menunggu
- bahwa sesungguhnya doa kita selalu dijawab
- hanya saja,jawaban Tuhan ,bisa :"tunggu" atau " kamu tidak berhak mendapatkannya"
Inilah pelajaran dari ilmu hidup yang sesungguhnya, sehingga kami mampu menghayati bagaimana rasanya hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Bagaimana rasanya hidup tidak ditengok seperempat matapun oleh orang lain, termasuk kerabat dekat. Memahami, bahwa segala sesuatu yang saat ini ada pada kami, bukanlah milik kami, melainkan hanya titipan Ilahi yang bisa saja ,sewaktu waktu diminta kembali oleh Sang Pemiliknya
Pelajaran berharga inilah yang mengawal perjalanan hidup kami,sehingga kemanapun kami pergi, selalu diterima dengan tangan dan hati yang terbuka lebar lebar. Hal ini, kami maknai sebagai arti sesungguhnya dari a blessing in disguise
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H