Setiap tahun kisah menyedihkan dengan tema lagu yang sama terus diulangi lagi dan lagi. Judul lagu adalah "Penganggur Berlabel Sarjana". Bahkan ada lirik lagunya yang bernada sinis dan mungkin menyakitkan, tapi orang tidak peduli, yakni "Begitu Toga dilepas, maka jumlah pengganguran bertambah lagi".
Berapa juta sih sesungguhnya penganggur yang di dahinya ada label "Sarjana?" Sungguh saya tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu karena akan semakin membuat galau dan risih walaupun yang menganggur itu bukan anak cucu kita. Tapi mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Pokoknya jutaan jumlahnya!
Kisah Basi
Dari tahun ketahun, kisah basi terus diulangi, yakni mengapa banyak sarjana yang menganggur? Mengapa mereka menganggur? Tapi hanya merupakan nyanyian galau yang tidak pernah mendapatkan solusinya. Maka setiap tahun lagu "Lepas toga, tambah pengangguran"Â terus berulang bagaikan memutar ulang kaset atau CD rusak.
Alasan mengapa hingga jutaan sarjana menganggur, sementara yang tamat SMA bahkan yang cuma SMP dan SD saja bisa dapat kerjaan? Jawabannya pasti semua orang sudah tahu, yakni:
- Milih-milih pekerjaan sesuai dengan spesifikasi
- Tidak memiliki keterampilan secara nyata, hanya mengandalkan selembar kertas
- Gengsi gengsian, tidak mau melakukan pekerjaan kasar
- Mental pencari pekerjaan
- Tidak terpikir untuk menciptakan lapangan pekerjaan
- Tidak kerja? No problem, hidup dibiayai orang tua
Menjadi Pengusaha Tidak Musti Modal Ratusan Juta
Rata-rata bila bertemu dengan Sarjana pengganguran ini dan menyarankan agar mereka membangun usaha sendiri dan menjadi pengusaha, selalu dijawab dengan ketawa. Seakan saran yang diberikan hanyalah sekedar humor murahan. Pengusaha? Hehehe dari mana dapat modal ratusan juta rupiah, Om?" Begitu kira kira jawaban yang disertai dengan ketawa renyah.
Cuplikan Pembicaraan dengan Pengusaha Cuci Mobil
Cuplikan pembicaraan singkat saya dengan pengusaha cuci mobil di Kemayoran.
Suatu hari, menengok ada yang papan bertuliskan "cuci mobil 30 Ribu", maka saya menghentikan kendaraan dan memarkirnya di pinggir jalan. Kemudian saya dan istri turun dari kendaraan. Dipersilakan duduk di bangku kayu seadanya. "Cuci Om?" tanya seorang pemuda yang mengenakan kaus oblong kepada saya. "Ya dik" jawab saya.
Maka tanpa membuang waktu lagi, dengan cekatan ia memanggil 2 lagi temannya secara gotong royong mencuci kendaraan saya. Kelihatan sudah ada pembagian tugas di antara mereka masing-masing. Karena tanpa ada yang memerintah ini dan itu, tampak ada yang khusus mencuci bagian roda, yang satu lagi body kendaraan dan yang seorang lagi membersihkan bagian dalam kendaraan.