Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkaca Diri Lewat Potret Toleransi di Negeri Orang

22 Januari 2017   17:30 Diperbarui: 22 Januari 2017   21:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

toleransi-2-5884879d529373b808f19b22.jpg
toleransi-2-5884879d529373b808f19b22.jpg
Bagi Saya,Hidup Bertoleransi Sudah Mendarah Daging

Mengapa hingga saya terheran heran ,menyaksikan, ada orang yang  koq begitu rumit dan susahnya mengaplikasikan hidup bertoleransi, karena bagi kami sekeluarga, hidup bertoleransi sudah mendarah daging.

Dimakam leluhur kami di Bukit Sentiong, Padang, masih ada beberapa makam, yang tidak dipindahkan ke Teluk Kabung,Antara lain, makam kedua orang tua saya almarhum dan nenek buyut saya. Dibatu Nisannya terbaca dengan jelas, nama :"Goerahie. -lahir di Pulau Nias, tanggal 22 yanuari, tahoen 1839 -Meninggal doenia pada tanggal 2 Agoestoes, tahoen 1931 di Padang. Jadi jelas, salah satu nenek buyut kami, adalah pribumi, asal pulau Nias. Sementara itu dari pihak istri saya, salah satu kakek buyutnya adalah orang jepang.

Salah satu mantu kami adalah pria Australia (kulit putih),cucu kami ada yang bernama Parkes dan ada yang bergelar Raden Bagus. Adik ipar kami,seorang dokter, menikah dengan Darusman- orang Minang Asli (Islam).R.Soetopo (Jawa) Ponakan saya ,menikah dengan orang German (kulit putih), 2 orang menikah dengan orang Batak, 7 orang lainnya menikah dengan orang Minang asli (Islam).Ada tante orang Belanda dan seterusnya.

Ini adalah dari keluarga inti. Kalau saya tuliskan seluruh silsilah keluarga kami,bisa tidak muat satu buku. Nah,hingga saat ini,belum pernah sekali juga salah satu dari kami bertengkar, malahan beda suku atau beda agama. Apalagi sampai menyebut :"Cina lu, atau Jawa kowe,juga tidak pernah dengar :"Batak kau " atau bule gila lu. Sungguh,kami hidup rukun dan damai.

Kemana Saja Kami Datang , Selalu Diterima dengan Hati Terbuka

Kami sudah ke Banda Aceh, yang disebut sebut sebagai daerah yang sangat sensitif,tetapi saya dan istri sudah berkali kali datang dan diterima bukan hanya dengan tangan terbuka,tapi juga dengan hati terbuka. Dijemput di bandara (tidak dibayar) diajak makan. kemudian diajak jalan jalan, diundang makan di janto. Sama sekali tidak ada seorangpun yang menengok kami dengan pandangan curiga, Bahkan berulang kali,kami dapat pesan,kapan bapak ibu datang lagi? Kami sudah sangat kangen!

Kami ke Lombok, juga dijemput, bahkan hotel kami dibayarin oleh mas Arif, diundang makan di rumah keluarga Bu Hajja Nurul dan kami berbicara dalam suasana kekeluargaan. Ke Makasar, Gorontalo, Tanah Papua. NTT, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera. Bagi kami inilah salah satu keindahan hidup yang sungguh sangat kami rasakan. Karena itu tak habis habisnya rasa heran dalam diri, koq ada yang merasa sangat sulit menerapkan hidup ber toleransi. Mengapa??

Hidup rukun dan damai,dalam toleransi, sungguh menciptakan kedamaian dan keteduhan jiwa. Mengapa orang harus berantem melulu?

Catatan : seluruh foto adalah dokumentasi pribadi dan tulisan ini,rencananya akan diabadikan ,menjadi bagian dari buku bersama ,yang dipelopori oleh Kompasianer Thamrin Sonata)

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun