Istilah "mayoritas" dan "minoritas" tidak seharusnya ada dalam kerangka hidup bertoleransi. Karena hak hidup berbeda sudah merupakan hak asasi setiap orang dan bukan diberikan oleh "mayoritas' kepada penduduk yang "minoritas."
Yang namanya hak asasi adalah hak yang dibawa sejak manusia diciptakan didunia ini. Salah satunya adalah hak untuk melakukan ibadah tanpa diganggu. Untuk berdoa kepada Tuhan, orang seyogyanya berada dalam tekanan atau intimidasi dari pihak manapun.
Toleransi milik siapa?
Ketika ada yang mengadakan acara selamatan dengan nyanyian nyanyian sesuai dengan tradisi dan ajaran agamanya, ternyata ada tetangga yang merasa terganggu. Karena tetangga merasa memilki kewenangan maka secara serta merta dapat langsung memerintahkan pembantunya ke tangga. Untuk memerintahkan agar acara nyanyi nyanian segera di hentikan. Merasa tidak berdaya menghadapi orang berkuasa, maka dengan terpaksa acara selamatan dihentikan.Â
Tapi sebaliknya, ketika "Penguasa" tersebut mengadakan acara hajatan secara besar besaran di rumahnya dan membuka volume pengeras suara hingga maksimal, para tetangga, tidak berani meminta apalagi menyuruh agar volume dikecilkan, Karena mereka sudah tahu apa yang akan terjadi bila mencoba melarang tetangganya yang memiliki kekuasaan.
Kesenjangan ini sesungguhnya sudah sejak dulu terjadi. Namun mungkin saja dianggap sudah merupakan sebuah hal yang memang patut diterima apa adanya. Bahwa orang atau kelompok yang memiliki power adalah si Pemilik Toleransi. Entah hal ini disadari oleh pemerintah ataupun tidak tak seorangpun dapat menjawab dengan benar. Karena setiap jawaban, akan dapat menjadi pemicu debat kusir yang hanya akan menciptakan suasana permusuhan.
Wajah lain dari "pemilik" toleransi
Pemilik toleransi dapat bermetamoforsa menjadi penguasa. Yang bahkan merasa berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, bisa jadi tidak berarti apapun bila tidak "direstui" oleh pemilik toleransi. Sebuah kekuasaan bayangan yang jauh lebih berkuasa daripada wewenang formal yang dimiliki pemerintah .
Kata "toleransi" agaknya sudah hampir menjadi almarhum di negeri tercinta ini, karena keberadaannya sudah berada dalam bingkai kekuasaan si pemiliknya, yakni kelompok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Namun sesuai dengan saran dan harapan yang disampaikan secara langsung oleh orang nomor satu di negeri tercinta ini yakni Presiden RI Joko Widodo "Tulislah artikel yang membangun yang optimis". Maka tulisan kecil ini ditutup dengan sebuah harapan semoga masih ada "malaikat penolong" yang dapat menyelamatkan toleransi di Indonesia. Agar seluruh warganya yang tersebar dari Sabang ke Merauke sungguh sungguh dapat menikmati kembali kata yang paling indah didengar saat ini yang sudah hampir punah dan menjadi barang langka, yakni "hidup dalam kesadaran bertoleransi."
Sebuah kerinduan yang mendalam untuk menemukan kembali toleransi di negeri tercinta ini menghijau kembali dan berbuah lebat. Semoga toleransi jangan sampai layu, mengering dan mati,,,,