Merindukan keberadaan toleransi
Sebagai orang yang dilahirkan di Padang, Sumatera Barat yang penduduknya 97 persen Muslim saya sekeluarga sudah menikmati hidup damai dalam keberagaman. Masih terbayang dengan sangat jelas di rumah kami di Wisma Indah I /no,6, Padang, bila tiba bulan puasa maka setiap minggu ada acara buka puasa bersama di rumah kami.Â
Ada ruang sholat khusus untuk teman teman yang mau melakukan ibadahnya termasuk pembantu dan tukang kebun kami. Tidak ada yang ragu menikmati acara berbuka puasa dirumah kami karena mereka sangat yakin semua makanan tidak tersentuh oleh makanan yang mengandung babi.Â
Setiap Idul Fitri kami adakan "open house" di rumah kami untuk menerima anak-anak sekampung yang merayakan Idul Fitri. Bahkan ketika Hari Raya Idul Adha rumah kami kebanjiran daging sapi Qurban dari para tetangga walaupun mereka tahu kami non Muslim.Â
Terus apa yang kami dapatkan atau apa yang kami harapkan untuk diperoleh dari hubungan persahabatan ini? Nothing! Tak satupun. Tidak ada niat untuk mengambil hati demi untuk mendapatkan sesuatu keuntungan dalam bentuk apapun. Karena hal yang paling kami jauhi di dunia ini adalah menjadi manusia munafik yakni seakan akan berbuat baik tapi karena ada maunya.
Pada waktu itu saya pengusaha. Sebagai Eksportir tidak ada urusan dengan acara persahabatan. Namun justru persahabatan yang "nothing to loose" ini merupakan sesuatu yang hilang dari hidup kami setelah kami pindah ke Jakarta.Â
Berada di Jakarta kami merasa berada di planet lain. Di mana begitu banyak orang memperalat agama untuk merusak kedamaian dan kebersamaan. Sudah 26 tahun kami sekeluarga meninggalkan kampung halaman dan selama itu pula kami merasakan semakin hari toleransi semakin layu dan mengering.
Apa sih toleransi tersebut?
Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Dalam pengertian, melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan agama.(https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi)
Menahan diri dan bersikap sabar serta dengan kebesaran jiwa memahami dan membiarkan orang berpendapat lain. Bukan berarti, setuju atau ikut serta dalam pemahaman dan agama orang lain, melainkan semata mata mengakui bahwa sesungguhnya setiap orang itu memang berhak untuk berbeda dengan diri kita. Serta  mengakui kebebasan serta hak orang lain ataupun kelompok lain, yang berbeda.
Sebenarnya, tidaklah sulit untuk memahami dan berjiwa besar mengakui kebebasan orang lain walaupun tidak sependapat dengan diri kita maupun agama yang diimaninya tanpa perlu melakukan intimidasi. Jangan mentang mentang merasa berada dalam posisi sebagai kelompok yang menentukan, membatasi, bahkan merasa berhak melarang orang lain menjalankan ibadah dan kegiatan lainnya.