Menderita bukan semata karena kemiskinan dan kemelaratan. Banyak orang miskin yang dapat menikmati hidup damai dan tentram,tapi tidak sedikit orang yang kaya harta, tapi hidupnya menderita secara batin.
Untuk membuktikannya tidak usah searching google ataupun travelling keluar kota.Cukup memperhatikan masyarakat di sekitar kita. Ada penjual bakso keliing dan istrinya keliling jualan pecel.Tinggal di rumah sangat sederhana,namun mereka sudah bersyukur,karena dengan jalan demikian, sudah dapat menyekolahkan anak anak mereka dan membiayai kehidupan.
Tapi tidak sedikit orang yang secara materi, tercukupkan,bahkan berkelimpahan,namun hidup menderita.
Salah seorang teman saya , kaya raya. Rumahnya di Jakarta ada di 3 lokasi .Setiap rumah bernilai minimal 5 miliar rupiah.Tapi ketika ada kesempatan, kami saling curhat ,sambil menikmati secangkir kopi diteras rumahnya ,yang bagaikan istana Ternyata teman saya,katakanlah namanya. Prapto,menceritakan bahwa hidupnya sangat tertekan dan menderita. Katanya kepada saya:” Pak Effendi,andaikata saya diberikan kesempatan sekali lagi, saya akan memilih hidup seperti anda pak Effendi.
Sungguh. Saya “iri” mendengarkan, anda dan istri begitu mesra. Tiap tahun berkeliling, dari rumah anak yang satu dan lainnya. Hidup seperti itulah yang sangat saya dambakan. Orang mengira ,saya sangat berbahagia dengan kelimpahan harta ,tapi sesungguhnya saya sangat menderita secara batin
Terpana saya memandang wajah teman saya, yang umurnya 14 tahun lebih mudah dari saya, tapi wajahnya menunjukkan seakan sudah berusia seusia saya..Serasa tidak percaya saya akan pendengaran saya, Tapi menengok wajah Prapto,ia bukan sedang bergurau.Karena dari guratan wajahnya ,sangat kentara bahwa ia sangat menderita.
Penyebabnya adalah orang terdekatnya,yakni istri dan putrinya. Istrinya yang dulu begitu santun dan penuh kasih sayang, sejak hidup mereka berkelimpahan ,sikapnya menjadi berubah. Kalau biasa setiap pagi menyediakan sarapan bagi Prapto, kini masih tetap tidur,ketika suaminya berangkat kerja .Merasa cukup menyuruh pembantu rumah tangga mereka ,untuk menyediakannya.
Begitu pulang disore hari,Prapto dicecari berbagai pertanyaan ,seakan menginterogasi seorang terdakwa. Menengok kedua orang tuanya setiap hari bertengkar, maka putrinya merasa ,tidak ada lagi home sweet home dirumah.Bahkan merasa rumahnya sudah berubah dari surga menjadi neraka. Lari dari rumah dan terjebak pergaulan bebas dan mulai menikmati obat obat terlarang.
Biasanya saya sering memberikan saran dan nasihat ,tapi kali ini ,saya tidak tahu harus mulai dari mana..Karena hidup mereka sudah seperti benang kusut.yang hanya merekalah yang mampu menguraikannya. Sebagai sahabat, tentu saya tidak berhak menggali terlalu jauh kedalam kehidupan pribadi Prapto.Walapun kami sudah berteman belasan tahun. Sebelum pamitan, saya hanya berpesan. :” Pak Prapto, kondisi seperti ini, membuat seisi rumah saling menyakitkan. Menurut saya tidak boleh dibiarkan berlanjut. Harus ada penyelesaiannya. Anda perlu berbicara dengan istri dan putri anda bertiga secara pribadi.” Dan kemudian saya pamitan.
Ketika Hidup Melarat Keluarga Sangat Akur