Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Suami Pensiun, Istri Alami Post Power Syndrome

14 Juli 2016   20:10 Diperbarui: 14 Juli 2016   21:24 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suami pensiun,tapi istri yang justru merasakan post power syndrome. Kok bisa begitu?
Pada umumnya, masyarakat hanya tahu bahwa ketika memasukki usia pensiun atau dalam bahasa kerennya masa purna bakti, maka orang yang tidak siap secara mental akan mengalami shock karena menderita post power syndrome. Tidak banyak yang mengetahui, bahwa sesungguhnya cukup banyak yang terjadi dalam kehidupan, bahwa ketika suami pensiun, justru sang istri yang merasakan paling tertekan. Mengapa bisa terjadi hal seperti itu?

Menceritakan hasil curhatan orang lain kepada kita tentu sangat tidak etis karena telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan orang kepada kita. Karena itu, saya pinjam saja nama Santi untuk menjelaskan proses terjadinya post power syndrome ala istri.

Menjadi Bos di Rumah Selama Lebih dari 25 Tahun
Selama lebih dari 25 tahun, suaminya berkerja sebagai kepala bidang di sebuah kantor pemerintah. Santi sudah terbiasa menjadi bos di rumah. Setiap pagi setelah suami ke kantor dan anak anak ke sekolah dan semua pekerjaan rumah tangga beres, maka Santi bebas mau kemana mana. Mau ke pasar atau ke mall, mau belanja barang barang kebutuhan rumah tangga. Terkadang berkunjung ke rumah teman atau kerabatnya sekedar kongkow-kongkow menunggu anak-anak pulang sekolah. Atau hanya sekedar window shopping keluar masuk mal sambil menikmati keramaian di sana.

Urusan taman, bunga, urusan pembayaran rekening listirik dan air dan segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah tangga, semua ada di tangannya. Termasuk mengatur keuangan keluarga. 

Namun sejak suaminya pensiun, Santi merasakan bahwa semua kebebasannya hilang secara serta merta. Apa-apa harus dirundingkan dulu kepada suami, yang kini seharian duduk di rumah. Mau ke pasar pasti ditanyai mau beli apa. Kalau agak kelamaaan pulang, pasti akan diinterogasi, mengapa dan ke mana saja? Santi merasa ia bagaikan dipenjara di rumah sendiri, karena seluruh kebebasanya yang selama ini dinikmatinya, kini serta merta diambil alih oleh suaminya.

swoman-57878bab2c7a61ac060719cf.jpg
swoman-57878bab2c7a61ac060719cf.jpg
Perlu Ada Kesepakatan antara Suami Istri
Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya kesepakatan antara suami dan istri untuk mencari jalan terbaik demi untuk keutuhan rumah tangga. Karena bila hal ini dibiarkan berlarut larut maka semakin lama akan terciptalah jurang yang tak kelihatan oleh kasat mata. Rasa cinta kasih dalam keluarga akan semakin suram dan kemudian padam, serta membeku.

Bila hal ini terjadi, maka sangat sulit untuk dapat memperbaikinya lagi. Oleh karena itu sedini mungkin, sebelum segala sesuatunya semakin larut, perlu pembicaraan antara suami istri, yang tentunya diawali dengan berdamai dengan diri sendiri terlebih dulu. Memahami bahwa dalam rumah tangga sudah tidak lagi mengedepankan maunya saya, tapi apa yang terbaik untuk bersama.

Langkah untuk Mengatasi
Langkah untuk mengatasi kemelut rumah tangga seperti ini tidak dapat dilakukan secara sepihak. Ada banyak jalan untuk mencairkan kebekuan antara hubungan suami istri. Antara lain adalah melakukan refeshing berdua. Untuk mempraktikkan hal ini tidak harus mengeluarkan uang yang banyak. Bisa dalam bentuk duduk santai di cafe atau di mal, setelah anak-anak ke sekolah. Sambil menikmati masing masing secangkir kopi.

Atau jalan kaki ke taman sambil bergandengan tangan, menyalakan kembali api cinta yang sudah meredup. Bisa juga menjalankan hobi bersama-sama: berenang, main catur, tenis, badminton dan kegiatan lainnya yang tidak harus menghabiskan dana dalam jumlah besar. Atau dapat juga bergabung dengan oraganisasi sosial bersama sama. Intinya, yang dicari bukanlah kepuasan diri sendiri, tapi kepuasan bersama. Sesuai dengan tujuan dari pernikahan adalah menciptakan rumah tangga yang bahagia. 

Kami sudah menjalani hidup seperti ini dan dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan. Kami dengan senang hati, setiap hari selalu berada 24 jam sehari dan tidak ada yang memerintah dan tidak ada yang merasa diperintah. Kuncinya adalah saling mencintai dengan tulus dan saling menghargai.

Tjiptadinata Effendi
14 Juli, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun