Rayakan Hari Kartini, Pahamilah Isi Hatinya
Merayakan Hari Kartini dengan kebaya dan berpakaian ala Kartini tentu saja tidak ada salahnya. Menulis dan membacakan puisi diberbagai pentas untuk memperingati dan menghargai jasa jasa Kartini, yang merupakan simbol kebangkitan kaum perempuan Indonesia, tentu saja patut dihargai. Namun ada hal yang tak kalah pentingnya adalah memahami, menghayati dan mengaplikasikan pesan-pesan moral yang diutarakannya lewat surat suratnya.
Tentu tidak mungkin membahas setiap surat Kartini yang begitu banyak dan sarat dengan pesan pesan moral. Namun pada Hari Kartini ini setidaknya sebait isi suratnya mampu menggugah dan mencerahkan hati kita untuk menempatkan agama di tempat yang mulia.
Jangan pernah kita gunakan sebagai kedok apalagi sampai menjadikannya komoditas yang diperjual belikan secara naif dan menistakan harkat diri sebagai manusia yang bermoral dan berakhlak.
Cuplikan
Sebaris kalimat diawal tulisan bukanlah karangan atau imaginasi saya. Untuk jelasnya, saya kutip secara utuh surat Kartini tersebut dengan menyebutkan sumbernya.
Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab, agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri.
Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan yang sama. Orang-orang yang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai.
Perbedaan gereja, tempat menyeru kepada Tuhan yang sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan. Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia?
 Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu!Â
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 - dikutip dari blog forum lintas batas)