[caption caption="foto mantan rumah kami di wisma Indah I, dibelakang tampak paviliun berlantai 3"][/caption] Hubungan Baik Dengan Tetangga Tak Pupus Oleh Jarak dan Waktu
Tinggal di Apartement yang berlokasi di Kemayoran, Jakarta Pusat menyebabkan saya merindukan hidup di kampung halaman. Bedanya bagaikan siang dan malam. Di Apartemen, walaupun tinggal satu atap, tapi hampir tidak saling kenal dengan tetangga. Bahkan yang dinding apartementnya bersebelahan dengan kami. Karena masing masing sibuk dengan urusan sendiri sendiri. Subuh sudah keluar rumah dan malam pulang langsung masuk ke apartement dan “glek”, pintu ditutup dan dikunci.
Kalau lagi beruntung, kami bisa bertemu sekali setahun, yakni sewaktu ada acara halal bihalal pada hari Raya Idul Fitri atau pada Perayaan Natal Bersama. Selain dari waktu itu, sungguh merupakan sebuah kesempatan langkah untuk bisa saling bertemu dan menjalin hubungan persahabatan.
Hal ini semakin membuat kami merindukan hidup bertetangga seperti di kampung halaman kami di kota Padang. Namun tentu semuanya hanyalah tinggal kenangan manis belaka.
Hubungan Baik dengan Tetangga di Padang
Sewaktu masih di Padang, sesudah nasib kami berubah total. Kami memilih tinggal di komplek Wisma Indah I yang lokasinya bersebelahan dengan SMA Yayasan Bunda dan masih satu Komplek dengan Universitas Bung Hatta.
Pada hari pertama kami menginjakkan kaki di sini, semua tetangga kami undang makan bersama, sebagai tanda perkenalan. Ternyata cukup ramai yang datang. Pak RT dan Pak Lurah adalah sahabat kami yang pertama disana. Sejak saat itu kami senantiasa menjalin hubungan baik dengan tetangga. Bila ada penduduk yang sakit atau akan melahirkan ditengah malam dan tidak ada kendaraan,maka saya dengan ikhlas mengantarkan mereka ke rumah sakit.
Bahkan Jalan Bunda I yang pada waktu itu terbengkalai pengaspalannya, kami rundingkan dengan Pak RT dan Pak Lurah agar pekerjaan dilanjutkan dan kekurangan biaya bisa diatur untuk ditutupi. Karena pada waktu itu kami masih Pengusaha, jumlah uang segitu, tidak menjadi masalah bagi kami.
Warga Sangat Senang
Warga sangat senang karena jalan masuk kerumah mereka sudah diaspal. Kami juga senang,karena sebagai pendatang baru, setidaknya sudah ikut menunjukkan itikat baik, dengan membantu menyelesaikan pengaspalan jalan ini.walaupun hanya satu jalan dalam lingkugan RT kami saja. Hubungan baik kami berlangsung dengan rukun dan damai. Padahal waktu itu kami adalah orang pertama dari warga keturunan Tionghoa yang berani masuk dan tinggal di komplek tersebut.
Bahkan di kala Idul Adha, kami kebagian banyak daging dari sana sini. Untuk menolak, kami kuatir warga akan tersinggung, Maka semua kami terima. Istri saya memasaknya jadi rendang dan kemudian kami bagikan kerumah rumah penduduk disekitar rumah kami.
Kursi di Kelurahan Tidak Cukup
Bahkan ketika kursi untuk pertemuan warga di kantor kelurahan tidak cukup. Saya ditelpon pak Wali kota. “Maaf. Pak Tjip, boleh bantu kursi untuk pertemuan warga?” Serta merta saya jawab: ”Boleh .boleh pak..berapa banyak pak?”
“ Hmm maaf agak banyak Pak Tjip, sekitar 100 kursi”. jawab pak Wali pada waktu itu.
Dalam waktu sehari, ruang pertemuan di kantor Kelurahan sudah penuh terisi dengan kursi kursi. Sekali lagi, pak Wali, pak Lurah dan pak RT serta warga sangat senang. Kamipun senang karena dapat membantu.
Setahun 3 Kali Hari Raya
Dalam setahun kami tiga kali merayakan hari raya, yakni : Natal, Imlek dan Hari Raya Idul Fitri. Lho kok bisa? Nah, bayangkan, anak-anak sekampung datang kerumah dan mengucapkan selamat. Apakah tega mengatakan: ”Maaf ya dik, kami tidak ikut rayakan Idul Fitri”. Nggak mungkinlah ada orang sebebal itu. Maka seperti biasa, tiap anak kami bagikan angpau. Mereka sangat senang dan kami juga senang, Karena sudah mampu menerapkan hidup berbagi, tanpa memandang etnis dan agama.
Kami Pindah Warga Sekampung Menangis
Ketika kami memutuskan pindah ke Jakarta. Warga sekeliling kami datang, Memeluk kami dan menangis. Bahkan sudah berlalu lebih dari 20 tahun, mereka masih ingat kami. Ada yang dulunya seorang anak, kini sudah jadi ibu dan mengundang kami makan di rumah makan Dilamun Ombak di kota Padang.
Kami jarang bisa mengeluarkan uang, kalau makan di kota Padang, karena begitu selesai makan dan mau membayar, kata kasir:” Maaf pak, sudah dibayar”. Terheran heran kami, kok begitu banyak orang yang mau membayarkan kami makan? Tapi ya sudah, disyukuri saja.
Hubungan Baik Kami dengan Tetangga Tidak Pupus oleh Jarak dan Waktu
26 tahun sudah berlalu, ternyata hubungan baik dengan tetangga kami tidak meluntur. Setiap kali kami pulang kampung, bila ketemu, pasti kami ditraktir makan oleh anak-anak yang dulu kami bagikan angpau. Sebuah kebahagiaan yang tak terkirakan, bukan karena dapat makan gratis dan dibayarin orang, tapi 26 tahun berlalu, hubungan persahabatan kami ternyata masih utuh. Seperti kata pepatah, hubungan persahabatan kami tak lapuk dek hujan dan tak lekang dek panas”
Salah satu dari anak anak yang dulu tetangga kami dan kini sudah jadi ibu dari dua anak, baru baru ini mengirim email dan mengatakan:" Apak dan ibu, ini yanti,,anak yang selama 6 tahun mendapatkan angpau dari ibu. Setiap kali kami lewat didepan rumah ibu bapak yang dulu, kami kangen sama bapak dan ibu...Kalau ke Padang, ijinkanlan Yanti mentraktir bapak dan ibu dirumah makan Padang "
Sebuah rasa haru yang amat mendalam membaca email dari anak yang dulu berusia 10-11 tahun, kendati 26 tahun sudah lewat,masih ingat dengan kami......bahkan mengundang kami makan..." ..
Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai begitu banyak orang? Sungguh bagi kami adalah sebuah berkat yang senantiasa kami syukuri.
Wollongong. 25 Maret, 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H