Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Uang Bisa Membius Seorang Sahabat

6 Januari 2014   23:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 1744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uang Telah Membius Sahabatku

[caption id="attachment_304431" align="aligncenter" width="300" caption="doc.pri"][/caption]

Kata peribahasa: ”Jangan biarkan diri terbelenggu oleh masa lalu, karena akan menjadi penghalang untuk meraih masa depan”. Memahami sebuah pepatah ataupun “the wisdom words” tentunya tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong dan tentu tidak pula menelannya mentah mentah. Masa lalu bukan untuk membelenggu diri, melainkan menjadi pilar di mana kita bisa belajar dari perjalanan hidup. Perjalanan hidup, kendati bersifat pribadi, ia adalah tetap sebuah sejarah. Dan sejarah tidak boleh dihapus, apalagi dilupakan.

Sejarah diperlukan, agar kesalahan yang pernah diperbuat seseorang, jangan lagi diulangi. Menampilkan sisi-sisi keberhasilan saja, maupun pencapaian pencapaian belaka, berarti sadar ataupun tidak, kita telah membius orang lain dengan pemikiran yang salah. Bahwa hidup itu adalah jalan tol yang mulus dan bahwa meraih sukses itu adalah semudah membalik telapak tangan.

Karena itu perlu di tampilkan sisi sisi gelap, yang berupa: kesalahan, ketidaksetiaan dan mungkin juga sebuah penghianatan. Agar orang memahami, bahwa perjalanan hidup itu, tidaklah semulus jalan tol tetapi terlebih merupakan jalan setapak, licin, terjal, yang membuat orang jatuh bangun. Dan salah satu sisi itu adalah bahwa orang bisa terbius dengan uang dan melupakan hubungan persahabatan dan persaudaraan.

Burhan dan Sinta

Kami baru pulang dari liburan panjang, selama satu bulan di luar negeri. Tapi tidak seperti biasanya, Burhan dan istri yang biasa menyambut kepulangan kami, kali ini tidak tampak.

Burhan dan istrinya sudah seminggu tidak pernah menampakkan dirinya. Padahal seharusnya setiap hari Sabtu datang dan memberikan laporan hasil operasional 5 buah truk pengangkut pasir yang dipercayakan kepadanya. Saya sudah mencoba menyuruh orang mencari ke rumah kontrakannya, tapi menurut pemilik rumah, Burhan sejak sepuluh hari lalu meninggalkan Kota Padang.

Saya masih tetap berpikiran positif, malah agak mencemaskannya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Burhan dan istrinya, yang sudah merupakan keluarga kami. Istrinya Sinta sejak masih berusia 10 tahun, sehari harian di rumah kami. Karena di samping tetangga, masih ada hubungan kekeluargaan. Sinta sudah seperti anak kami sendiri.Hubungan ini semakin erat semenjak ibundanya meninggal dunia, maka tempat curahan hati nya adalah kami sekeluarga. Hal ini berlangsung hingga Sinta bertumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Bahkan sebelum Ia memutuskan untuk memilih calon suaminya, Sinta masih tetap bertanya pada kami. Pokoknya hubungan kami sangat baik, tak ubahnya bagaikan hubungan anak dan orang tua.

Maka ketika suatu hari Sinta meminta agar suaminya diberi kesempatan untuk mengurus ke 5 buah truk pengangkut pasir kami,d engan serta merta kami terima. Pada awalnya semuanya berjalan sangat baik. Setiap hari Sabtu, Burhan datang dan menyetorkan hasil opersionil dari ke 5 truk tersebut. Begitu besar kepercayaan kami sehingga kami hanya menerima laporan keuangannya tanpa melakukan pengecekan apa pun. Ternyata inilah kesalahan saya, yaitu memberikan kepercayaan yang terlalu besar.

Uang Telah Membiusnya

Ternyata saya dapat kabar dari karyawan yang saya utus bahwa Burhan dan istrinya sudah pindah ke Sumatera Selatan. Mereka membawa semua uang yang seharusnya disetorkan pada kami. Pada awalnya kami tidak mempercayai semuanya ini dan merasa bagaikan sebuah mimpi buruk. Tetapi ternyata hal ini adalah sebuah kenyataan. Sebuah kenyataan yang teramat pahit memang, bahwa orang yang sudah kami anggap bagian dari keluarga kami ternyata tega melakukan semuanya ini. Uang telah membiusnya.

Untuk kesekian kalinya saya kehilangan sahabat dan sekaligus uang. Akankah pengalaman pahit ini terulang lagi? Entahlah. Sebagai manusia, saya hanya menjalani hidup, berusaha mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Dan tentu saja, saya tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mencegah sesuatu, bila hal tersebut memang harus terjadi lagi. Saya sudah mempersiapkan mental saya untuk memahami bahwa hidup dalam perjalanan hidup itu terkadang harus melalui jalanan licin dan terjal.

Iluka, 6 Januari,2014

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun