Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemiskinan Tidak Memandang Bangsa- Potret Kehidupan di Bantaran Mehkong

11 Mei 2014   23:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kemiskinan Tidak Memandang Bangsa –Potret Kehidupan di Bantaran Mehkong.

Untuk memotret kemiskinan, tentu tidak perlu berjalan jauh. Apalagi hingga perlu terbang ke negara tetangga. Karena kemiskinan itu ada di depan mata kita. Sebagai contoh, dibalik Apartement Megah di bilangan Kemayoran, hanya berjarak satu kilometer saja, kita sudah dapat menyaksikan warga setempat ,hidup dan beranak pinak di balik bagunan .

Namun sekedar sebuah gambaran bagi ktia semuanya, bahwa kemiskinan itu tidak memandang suku dan bangsa. Entah itu namanya nasib, takdir ataupun karena kesalahan akan persepsi dan falsafah tentang hidup, yang jelas, kemiskinan itu juga melanda kehidupan warga Cambodia yang hidup di bantaran Sungai Mehkong.

[caption id="attachment_323348" align="alignleft" width="300" caption="jalan menuju ke mehkong island/doc.pribadi"]

13998015971333433172
13998015971333433172
[/caption]

Menempuh Jalan berlubang dan berdebu

Selama lebih kurang satu setengah jam lamanya, Racchun, Pengemudi Tuk Tuk ,mendera mesin hondanya ,meliuk liuk dijalanan berubang ,dengan meninggalkan debu yang berterbangan dimana mana. Pengemudi Tuk Tuk ini seakan sudah menjadi sopir pribadi kami selama di Kerajaan Cambodia ini..Karena orangnya sopan dan meminta ongkos yang sepantasnya, maka kami memutuskan untuk tidak mengunakan tuk tuk lainnya. Tentu saja Racchun senang, karena sudah ada penumpang tetapnya.Ketika saya katakana padanya ,bahwa nama “Racchun” bila dalam pronouciation di Indonesia, akan berbunyi :” racun:” artinya :” Poison” , ia ketawa lebar.

Walau sudah mencoba memegang tiang penyangga atap tuk tuk dengan kuat, namun tak urung sesekali,kelapa masih terbentur, karena disepanjang jalan tanpa aspal ini , diperkaya dengan lubang lubang disana sini . Deru motor Honda ,yang menggerakkan roda tuk tuk ini, masih di ramaikan dengan mengepulnya debu berwarna pink ke wajah dan pakaian kami. Namun kami sudah bertekad, bahwa hari ini kami harus menapakkan kaki kami di Mehkong Island,yang berjarak tempuh sekitar satu setengah jam.

[caption id="attachment_323349" align="alignleft" width="300" caption="menuju ke tongkang./doc.pribadi"]

13998017352144128059
13998017352144128059
[/caption]

Naik Tongkang

Dihampir tiga perempat perjalanan, Racchun menghentikan kendaraannya dan mengatakan bahwa kami berdua, terpaksa harus turun dan jalan kaki, karena jalan untuk mencapai ke Tongkang yang akan menghantarkan kami keseberang sangat terjal dan berbahaya. Maka tanpa harus menunggu diminta untuk kedua kalinya, kami langsung turun. Kami masih 20 meter lagi dari pintu tongkang, tiba tiba terlihat, pintu tongkang mau ditutup, Syukur si Racchun ,buru buru memberi isyarat kepada petugas tongkang, agar menunggu kami sampai.Begitu kami menginjakkan kaki kedalam tongkang, maka pintu langsung ditutup dan tongkangpun mulai bergerak.

Tidak sampai 10 menit, tongkang sudah merapat keseberang dan kamipun turun , melalui jalanan berbatu dan menanjak. Ada lebih kurang 50 orang yang menumpang bersama kami di tongkang tersebut. Tidak tampak seorangpun turis lainnya pada waktu itu. Menurut Racchun, memang tidak banyak turis yang mau datang kesini, Karena disamping medan yang ditempuh tidak nyaman, juga di lokasi tidak terdapat tempat peristirahatan ataupun café yang memadai.

Ditempat yang sudah tidak terlalu menanjak, kami diminta untuk naik ke Tuk tuk kembali dan mesin Honda ini ,kembali meraung ,memecahkan kesunyian ,disepanjang jalan yang dikiri kanan masih ditumbuhi semak belukar.

[caption id="attachment_323350" align="alignleft" width="300" caption="doc,pri."]

13998020531543974622
13998020531543974622
[/caption]

Tiba di Perkampungan BantaranSungai Mehkong

Kami diminta untuk membayar kontribusi untuk masuk kedalam area ini,hanya 50 cent dollar perorang. Lalu kami berjalan kaki lambat lambat, menapaki jalanan kampung ,menuju ke pinggiran Sungai Mehkong. Menyaksikan gubuk gubuk yang berserakan disana, menyebabkan pikiran saya kembali melayang kepada kehidupan pribadi kami, 40 tahun yang lalu . Tinggal di gubuk, yang sama sekali tidak pantas disebut rumah….terlihat wajah wajah kusut dan sayu, kendati mereka mencoba tersenyum ramah, namun kehampaaan hidup amat jelas terbaca diraut mukanya dan tatapan mata yang kosong dan redup.

Tanpa terasa, mata saya basah..mungkin kondisi mereka ini, bercampur aduk dengan kenangan hidup pahit getir yang pernah kami jalaniselama bertahun tahun.Terbayang dipelupuk mata saya,gubuk gubuk petani garam di tanah air kita. Mereka ini beda negara dan beda bangsa,tapi nasibnya sama: melarat dan menderita..

Disudut jalan, duduk seorang ibu yang kelihatan seakan sudah berusia 60 tahun, sedang menikmati sejemput nasi yang diaduk dengan jagung. Ia menyapa si Racchun,dalam bahasa yang saya tidak mengerti, rupanya karena sudah sering kesana, Racchun sudah dikenal dilingkungan ini. Seperti bisa menerka akan apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran saya, Racchunmengatakan, bahwa wanita itu baru berusia 40 tahun., Suaminya baru meninggal bulan lalu, karena diare dan kini ia harus berjuang menghidupi 2 orang anaknya yang masih kecil,dengan menyewakan “gazebo”,yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia,yang berjejer ditepi sungai. Namun tak terlihat seorangpun yang mengunakan fasilitas ini.Berarti, tidak ada uang masuk untuk pemiliknya.

Tiba tiba saya disadarkan dari lamunan oleh Lina istri saya, yang mengajak untuk berfoto berdua. Saya juga tersentak dan sadar,bahwa seharusnya saya gembira,karena dalam usia yang bulan ini memasuki ke 71, kami tetap sehat dan diberikan karunia yang melimpah oleh Sang Pencipta untuk dapat melakukan kunjungan keberbagai negara, termasuk di Cambodia ini, Namun, betapapun saya mencoba mengusir semua kegalauan hati, menyaksikan orang orang yang hidup menderita di depan mata kami, sungguh sungguh tidak mudah. Karena kami pernah merasakan kepahitan hidup, seperti yang saat ini mereka rasakan…….

Mehkong Island, 11 Mei, 2014

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun