Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Demi Cinta Anak Istri Rela Lakukan Ini.

1 Oktober 2014   03:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:52 2337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14120827571920271747

[caption id="attachment_345216" align="alignnone" width="640" caption="Demi anak dan istri tercinta.rela cat wajah/ft,tjiptadinataeffendi"][/caption]

Demi Anak dan Istri Tercinta Ikhlas Cat Wajah

Tahun lalu ,ketika sedang berada di Indonesia, saya dan istri berkendara menuju ke Bandung. Seperti biasanya, saya lebih senang bila mengendarai sendiri. Lebih mantap, aman dan nyaman. Kami berdua bisa bebas bercanda.berbicara apapun urusan pribadi atau sementara kendaraan melaju ,menikmati makanan kecil yang disediakan oleh istri saya.

Tujuan kami ke Bandung adalah untuk menghadiri suatu acara, dimana saya sebagai pembicaranya. Dipersimpangan sebelum belok kekanan menuju ke jalan Kedung Kaung, bertepatan lampu rambu lalu lintas sedang menyala merah,makasaya hentikan kendaraan dengan sangat perlahan.

Tiba tiba ada sesosok wajah yang dicat dengan warna abu abu sedang berdiri di samping kanan kendaraan yang saya kendarai. Saya bukan kaca dan menanyakan ada apa? Lelaki bertopeng cat ini menawarkan untuk membersihkan kaca mobil . Namun karena akan mengganggu orang lain,maka dengan halus saya tolak tawarannya. “Om. Maaf.berikanlah saya kesempatan untuk membersihkan kaca mobil.Terserah Om mau kasih berapa. Saya butuh untuk beli makanan anak dan istri dirumah…” katanya sopan.

Saya tertegun. Mendadak sontak saya merasakan bagaimana perasaan lelaki yang sedang berdiri dan menanti penuh harapan, sekedar 5 ribuan dari saya. Saya ingat bahwa dulu saya juga pernah berada dalam kondisi seperti ini,kendati tidak pernah sampai mengamen di jalanan. Namun kalau untuk makan ,harus utang sana sini, sudah sering saya lakukan. Saya ulurkan tangan saya kearah istri saya dan Lina sudah tahu, saya minta uang untuk diberikan kepada sesosok anak manusia yang ada berjarak sejengkal dari kami. Sama sama makluk ciptaan Tuhan,namun beda garis tangan.

Pada waktu memberi ,sangat terasa makna dari kata kata:”Berbahagialah yang memberi daripada yang menerima. “ Bayangkan kalau saya yang menerima ,berarti saya yang ada dibawah sana”

Bagi orang lain,mungkin si pengamen bukan siapa siapa,hanya seorang pengamen jalanan,tapi bagi istri dan anak anaknya.ia adalah bagaikan pahlawan,yang ditunggu setiap hari kepulangannya. Untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi seperti ini, orang harus mampu mengalahkan dirinya sendiri dan menyimpan seluruh harga dan harkat dirinya,demi cinta kepada keluarga.



Saya menarik nafas panjang..bersyukur luar biasa,bahwa dalam masa masa pensiun ,kami masih dapat memberikan ala kadarnya,untuk setidaknya meringankan beban orang lain. Walaupun ada pribahasa mengatakan:” Bila tangan kananmu memberi,hendaknya janganlah tangan kirimu mengetahuinya”

.Namun,karena saya bukan termasuk tipe orang yang suka menghitung hitung pahala, maka bagi saya ,tidak ada beban apapun untuk menceritakannya. Bukan agar supaya mendapatkan pujiian sebagai :” orang baik”,tetapi semata berbagi secuil kisah hidup,bahwa sungguh.memberi itu lebih indah daripada menerima.

Sepotong Pelajaran dari Tibet

14 Tahun lalu ketika kami mengunjungi Tibet, saya melihat para pengunjung yang memasukki kuil,memberikan sumbangan dan dimasukkan kedalam kotak,sehingga saya tidak tahu,berapa seharusnya memberikan sumbangan.. Karena saya baru pertama kalinya datang kesini, maka agar jangan ada yang tersinggung, maka saya bertanya kepada salah satu Suhu disana:”Maaf.,biasanya berapa besarnya sumbangan?”

Pendeta yang ditanya ,memandang dengan wajah heran pada saya dan mengatakan dengan sangat sopan:” Please,don’t ask me…ask your heart.because the answer is in your heart…..”

Wajah saya terasa panas. Merasa diri saya bodoh,koq mau memberi pake nanya nanya lagi.. Benar kata Pendeta ini, ketika hendak memberi ,tanyakanlah pada hati kita masing masing..

Sebuah Proses Pembelajaran Diri

Ketika hendak memberi, jangan tanya pada pikiran kita,tapi tanyalah pada hati kita. Karena kalau kita bertanya pada pikiran kita,maka pertanyaan itu akan memantul ulang kembali kepada diri kita:”Mengapa harus memberi? Toh, orang di depan kita,bukan siapa siapa kita. Kenapa harus buang waktu dan buang uang untuk mikirin nasib orang lain. Bukan urusan kita”. Maka akhirnya niat baik yang tadinya mencuat,kembali menyurut dan tenggelam dalam egoismenya pikiran kita. Namun kalau kita bertanya pada hati,maka ia akan mengatakan:” Dengan memberi, toh kita tidak akan kekurangan apapun. Maka dengan ikhlas kita akan memberi.

Memberi dengan di iming imingi pahala, sesungguhnya menodai keikhlasan dalam diri. Berikanlah bila kita ikhlas dan sebaliknya jangan memberikan bila karena terpaksa. Pengertian ikhlas adalah tidak mengharapkan imbalan apapun.

Mount Saint Thomas, 30 September,2014

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun