[caption id="attachment_346417" align="aligncenter" width="601" caption="ilustrasi palembang tribune,com"][/caption]
Hidup Jangan Seperti Mengejar Layangan Putus
Saya dilahirkan di besarkan di Pulau Karam, yang berlokasi disalah satu sudut kota Padang, Dari namanya saja sudah dapat diterka, bahwa kalau hujan lebat dalam beberapa jam tanpa henti ,maka seluruh daerah ini akan “karam” ,karena terendam air.
Boleh dikatakan rata rata penduduk yang domisili di sini adalah dari masyarakat yang minus,termasukkeluarga kami. Hiburan anak anak disini,adalah tangkap ikan atau belut di selokan ,yang hasilnya untuk menambah lauk pauk . Bila libur panjang,maka hampir seluruh aktivitas anak anak di kampung ini adalah bermain layangan.
Suatu siang, ada suara yang berteriak:” Layang layang putuuus….!” Nah,ini adalah kebiasaan anak di kampung ini, bila ada kode ini, maka hampir seluruh kegiatan dihentikan, hanya untuk mengejar layangan putus. Sebagai salah seorang anak di desa ini, saya tentu saja tidak ketinggalan. Padahal pada waktu itu,saya sedang memegang piring yang berisi nasi jagung dan sepotong ikan asin, untuk makan siang. Saking terburu buru nya mau mengejar layangan putus, tergesa gesa piring berisi nasi, saya tinggalkan dimeja dan ingin berlari sekencang kencangnya.
Namun karena saking seluruh pikiran saya terpancang pada layangan putus, kaki saya tersandung pada kursi dan akibatnya piring yang berisi nasi untuk makan siang tadi jatuh dan pecah , Berserakan dilantai gubuk kami ,yang terbuat dari tanah liat.
Langkah saya terhenti, saya terdiam. Mencoba mengumpulkan bagian bagian yang mungkin masih bisa dimakan. Namun karena sudah tercampur dengan pecahan kaca piring,sudah tidak mungkin lagi bisa diambil.
Pelajaran Pahit Yang Tak Terlupakan
Bagi orang lain, sepiring nasi ,tidak ada artinya. Berapalah harga sebuah piring bekas.Namun pada waktu itu, bagi saya , hal tersebut adalah sesuatu yang besar,Karena hidup keluarga besar kami sangat minim, maka setiap anak hanya dapat jatah sepiring nasi . Saya dimarahin habis habisan oleh ayah saya.
Tapi diam diam, ibu sayamemanggil saya ke dapur, disana ibu memberikan jatah makanannya kepada saya. Saya baru tahu belakangan, bahwa akibat ingin mengejar layangan ,saya memecahkan piring berisi nasi ,namun ibu saya yang puasa dan tidak makan siang itu. Ibu saya wanita sederhana ,namun mencintai kamianak anaknya ,melebihi dirinya sendiri.
Pengalaman kecil ini,sangat membekas dalam hidup saya. Berusaha untuk mengapai hidup yang lebih baik tentu sangat berguna. Optimisme dalam hidup juga sangat dibutuhkan untuk menjadi kekuatan dalam upaya mengubah nasib.Namun saya selalu ingat untuk menghargai dan bersyukur untuk apa yang ada pada diri . Agar jangan melakukan kesalahan yang sama, yakni seperti mengejar layangan putus.
Yang mau dikejar adalah sesuatu yang tidak berharga,namun saya sudah membuang sesuatu yang sangat bernilai ,yang ada ditangan.Tidak jarang orang lupa pada keselamatan diri, dengan berlari dijalan raya,memanjat tiang listrik ataupun melompati pagar,hanya untuk sebuah layangan. Tanpa sadar ,banyak orang, mengejar sesuatu yang tidak bernilai,dengan mengorbankan hidupnya yang tidak ternilai
Dari ibu saya alm.saya belajar ,bahwa kepentingan anak dan istri adalah nomor satu dalam hidup ini. sedangkan kepentingan diri saya adalah nomor dua. Inilah yang selalu menjadi falsafah hidup saya. Ternyata menghadirkan untaian kasih yang luar biasa . Boleh dikatakan ,saya dimanjakan oleh anak anak kami. Saya sudah diberi,sebelum saya meminta.
Semoga artikel kecil ini, dapat menjadi inspirasi ,bahwa dalam hidup, jangan seperti saya mengejar layangan putus.
Mount Saint Thomas, 07 Oktober, 2014
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H