Lengang, sepi, dan tidak ada suara teriakan khas penghuni terminal. Dilihat dari shelter busway, tempat itu lebih mirip parkiran bus dan angkot. Ya, begitulah suasana siang hari di terminal Lebak Bulus Minggu, 29 September 2013. Dari luaran terminal itu terkesan sepi. Puluhan bus kota, kopaja, angkot, dan metro mini tertata berjejer layaknya showroom mobil. Di hari Minggu terminal tersebut memang tidak banyak beroperasi, khususnya untuk didalam kota. Karena tingkat kepadatan penumpang tidak seperti hari-hari biasa. Di hari libur seperti itu, masyarakat didaerah Lebak bulus lebih memilih beribadah, jalan-jalan, dan tidak bepergian dengan angkot dan sejenisnya. Begitulah keadaannya menurut pengakuan salah seorang penjual nasi padang di kantin terminal itu.
Keherananku dengan kelengangan terminal ketika memasukinya pun terjawab sudah. Namun dibalik kesan pertama itu, ternyata ada kepadatan yang benar-benar terwujud. Kepadatan terminal yang sudah ada dibenakku tentang sebelum tiba di terminal Lebak Bulus ini. Disisi dalam terminal ternyata berjajar bus antar kota dan provinsi yang standby untuk mengantar penumpang. Mayoritas bus antar provinsi ini mengantar penumpang ke tujuan Jawa Barat dan sekitarnya. Ditengah riuh aktivitas penumpang dan calo yang aktif bertransaksi tiket di loket, dan naik turun penumpang yang sibuk membawa barang-barang dan membeli bekal perjalanan, ada banyak pedagang asongan yang juga ikut naik turun bus menjajakan makanan, minuman, rokok, dsb.
Para pengasong ini tidak serta merta terus menerus menjajakan dagangan mereka. Begitu banyak penumpang yang hilir mudik keluar masuk terminal, membuat para pengasong ini seolah sudah tahu kapan mereka berkeliling naik turun bus, kapan mereka duduk beristirahat dideretan tanaman di depan antrian loket. Mereka memang saling berbagi rejeki satu sama lain. Ketika sudah ada rekan mereka yang menaiki bus, maka ada pula yang bergilir menjajakan dagangan mereka di pelataran terminal ataupun dengan duduk dan menaruh kotak dagangan dideretan tanaman.
Terminal memang selalu identik dengan pedagang asongan. Walaupun saat ini sudah bertebaran waralaba retail seperti indomart dan alfamart memenuhi ruang publik, namun peran pengasong ini sudah terlanjur melekat dengan masyarakat, khususnya kelas menengah bawah. Kehadirannya seolah selalu dinanti oleh para penumpang. Kali ini bukan masalah harga. Toh, para penumpang pun seringkali tidak menawar ketika membeli di pengasong. Mayoritas penumpang membawa lebih dari satu barang bawaan. Perjalanan mereka tiba di terminal, mengantri, dan menaiki bus sudah memakan banyak energi dan waktu. Terlepas dari mendadak, buru-buru, atau tidak, pedagang asongan senantiasa menghampiri para penumpang didalam bus untuk sekedar menawarkan kebutuhan konsumsi penumpang, sebelum bus berangkat. Inilah salah satu service yang tidak dapat diberikan oleh banyaknya gerai waralaba itu.
Para pengasong ini pun banyak jumlahnya, jadi kalaupun penumpang harus turun dari bus, ia tidak perlu jalan jauh lagi untuk sekedar membeli makanan, minuman, rokok, dsb. Beberapa makanan pun khas dijajakan oleh para pengasong dan sengaja dicari oleh penumpang, seperti tahu goreng, manisan mangga, telur puyuh rebus, yang jelas tidak tersedia di gerai waralaba itu.
Tidak hanya di Lebak Bulus, di terminal lain seperti terminal Rawamangun pun banyak dijumpai para pengasong, dan sebenarnya keberadaan mereka ada di berbagai tempat umum. Rata-rata penghasilan per hari dari para pengasong adalah sekitar Rp 30.000,-. Dilihat dari harga kebutuhan sehari-hari, penghasilan sebesar ini tentu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja. Sedangkan setiap dari kita memiliki kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan. Untuk keperluan perorangan tentu penghasilan tersebut tidak dapat memenuhi semua kebutuhan. Terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga.
Melihat kenyataan ini, mereka, para pengasong, adalah salah satu kelompok yang termasuk dalam kaum marjinal. Kaum pinggiran, yang seringkali tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Jumlah mereka banyak, tidak hanya pengasong saja, mereka yang          hidup pas-pasan dan berkekurangan, dan mereka ada disekitar kita. Fakta dan kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa sejatinya negara kita masih jauh dari kemerdekaan. Begitu indah peraturan perundang-undangan dan pancasila dibuat, yang semuanya diperuntukkan demi kemakmuran dan keteraturan bangsa ini, namun sampai saat ini pemerintah belum dapat melaksanakan apa yang telah dibuatnya sendiri.
Saat ini peran pengasong memang masih dibutuhkan oleh masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, dengan kondisi pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai seperti saat ini, akan terus lahir generasi pengasong-pengasong berikutnya yang memiliki garis hidup sebagai kaum marjinal, yang akan semakin tergilas oleh zaman. Diperlukan pemberdayaan yang berkesinambungan dan dukungan dari Pemerintah untuk merubah kondisi seperti ini.
Mencoba mendekat, mengenal, dan ikut mengupayakan dalam usaha memberdayakan kaum marjinal lebih efektif daripada hanya menuntut pihak berwenang. Semuanya dimulai dari diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H