Alhamdulillah, minggu siang yang lalu dalam Kunker ke Sumenep, Madura sempat mampir di Masjid Jamik tertua yang dibangun pada akhir abad ke 18M. Mungkin negara Amerikapun belom ada waktu itu dan baru ditemukan.
Niat awal ke Masjid tersebut untuk melakukan sholat jamak qoshor dan kebetulan waktu sudah menunjukkan diatas jam dua belas lebih.
Arsitektur bangunan ini mengikuti bangunan khas Jawa dengan kombinasi campuran interior keramik dari China. Pelataran masjid yang luas sudah dilapisi keramik modern yang mahal dan menawarkan kesejukan dilingkup udara pulau madura yang panas.
Saya memilih sholat dipelataran masjid yang sejuk dengan beberapa orang yang juga tidak memilih sholat didalam. Mungkin mereka mencukupkan sholat diubin tanpa khawatir dengan baju yang penuh dengan peluh dan keringat.
Selesai melaksanakan sholat wajib, tergelitik untuk masuk kedalam masjid untuk melakukan sholat sunah, sambil mencari jejak-jejak peninggalan pemyebar agama dan Wali Songo, atau mungkin juga bertemu para pemegang konci surga.
Benar saja, baru selangkah memasuki Masjid sudah disambut dengan karpet berwarna biru yang tebal berkesan mewah. Sambil berjalan sampai ke barisan depan berselisihan dengan jamaah yang baru selesai berdoa, dengan menajamkan mata melihat sekitar mimbar kalau-kalau ada tanda-tanda yang menarik.
Hampir tidak ada tanda-tanda yang bisa dirangkum kecuali keramik biru peninggalan kebudayaan China tertancap disekitar dinding mimbar. Diatas mimbar ada sebilah pedang yang tertempel tanpa pasangan. Sepintas seperti pedang lambang kerajaan Saudi yang terpaku secara vertikal.
Ketika pencarian akan diakhiri, mata ini terpaut pada sebuah hiasan diatas atap altar sebelah kiri yang tidak menjadi perhatian bagi sebagian besar umat. Itulah symbol pedang Zulfikar, pedangnya Imam Ali kw yang di berikan Rasulullah.
Pedang itu bertuliskan "Lafata ila Ali, lasaifa ila Zulfikar", tidak ada pejuang sehebat Ali dan tidak ada pedang seperti Zulfikar.
Saatnya untuk meluruskan niat sholat sunnah sebelum mengabadikan jejak-jejak peninggalan para pecinta Keluarga Nabi saw.
Selesai sholat, buru-buru untuk mengeluarkan ponsel dan mengabadikan peninggalan sejarah yang langka. Tiba-tiba terdengar suara lantang dari sepasang mata yang rupanya tadi sudah mengintai. "Dari mana mas, hardiknya?". Ohh dari Jakarta pak & mohon izin saya mau mengambil foto boleh? Jawabku.
Kalau ambil foto sih boleh aja katanya, tapi koq tadi sholatnya lain gerutunya. Kalau bukan Islam ndak boleh disini, semua ada aturannya. Seperti ada warning bahaya bertemu para pemegang konci surga.
Ekspert transportasi menasehati ketika berada pada situasi "road rage" disarankan untuk menghindari kontak mata. Segera setelah menyelesaikan beberapa jepretan, segera pamit untuk meninggalkan tempat, sebelum terjadi eskalasi yang tidak diinginkan.
Sedikit pengalaman yang sangat berharga, untuk memahami budaya dan alam masyarakat setempat.
26 Mei 2024
Photo Koleksi PribadiBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H