26Sept2015
Pada tanggal 11 Maret 1972 negara tetangga kita, Malaysia mengirimkan satu tim/delegasi ke Indonesia untuk mempelajari sistim pengelolaan sektor minyak dan gas (migas) di Pertamina.
Saat itu pertamina dibawah pimpinan bapak Ibnu Sutowo dan menerima langsung delegasi negara tetangga.
Sepulangnya dari Jakarta, delegasi itu mulai bekerja membangun perusahaan minyak nasionalnya yang di beri nama Petronas dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1974.
Mengejutkan, dalam jangka waktu 34 tahun (tahun 2006) Petronas berhasil masuk majalah Fortune 500 sebagai perusahaan terbaik dunia pada peringkat 120. Hanya satu hal yang dipelajari delegasi Petronas ke Pertamina pada saat itu, yaitu sistim "Production Sharing Contract - PSC" atau disebut juga kontrak bagi hasil. Sistim PSC ini memang original dan asli produk Nusantara yang telah mendunia. Sistim PSC yang fenomenal ini berkembang pesat di industri perminyakan dunia dan tercatat ada 72 negara yang mengadopsi sistim PSC ini. Kontrak Bagi Hasil - PSC ini diinspirasikan oleh Ir. Soekarno sang bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu dimasa kuliahnya di ITB Bandung, beliau berjalan dengan sepedanya mengamati para petani miskin yang menanam padi disawah. Salah seorang petani itu, Mang Aen namanya, sedang mengerjakan sawah milik tuan tanah dengan bermodalkan cangkul dan tenaganya. Kemudian dari hasil jerih payahnya itu dibagi dengan tuan tanah dan sisanya digunakan untuk menutupi kebutuhan hidupnya sekeluarga. Pilosophi sederhana inilah yang menginspirasikan konsep bagi hasil atau "production sharing contract" yang mendunia dan masih dipakai sampai sekarang dengan berbagai modifikasi sesuai kebutuhan zaman. Jika di Jerman dilahirkan faham Marxisme oleh philosof Karl Marx yang mengidentifikasikan kepemihakan kepada kaum petani dan buruh miskin, maka di Indonesia kepemihakan kepada petani miskin dicetuskan oleh Bung Karno melalui kisah sederhana Mang Aen menjadi faham Marhaen atau Marhaenisem. Dari awal diperkenalkannya PSC tahun 1960 s.d 2008 sudah dilahirkan 6 Generasi PSC yang merupakan perubahan kecil atau "fine tuning" dalam memodifikasi porsi biaya produksi (oil cost), pembagian hasil pemerintah dan porsi kontraktor. Namun sayang, sekarang Pertamina sebagai Gurunya Petronas tertinggal 10 tahun dibelakangnya. Ketika tahun 2013 kita dikejutkan dengan euforia masuknya Pertamina pertama kali dalam daftar ke 123 majalah Fortune 500, sang murid/follower sudah diposisi 69 dan PTT Thailand mengikuti diposisi 84. Dengan perasaan bangga mereka selalu menyanyikan selogan, "Murid selalu lebih berhasil dari sang Guru". Kini Petronas dengan produksi perhari 1,2jt boe dan Pertamina 200rb boe, Pendapatan pertahun Petronas sebesar U$100billion dan Pertamina pada U$70billion. Sepertinya ada yang hilang tercuri ketika proses transfer knowledge dari Pertamina ke Petronas. Kita bisa melihat dari cara penamaan anak perusahaannya. Pertamina menamakan anak perusahaanya hanya Pertamina EP (eksplorasi dan produksi) atau PHE (pertamina hulu energi) terlihat kesan kering dan dingin tanpa gairah dan spirit, hanya sebatas menjalankan tugas pokok. Disini anak perusahaan Petronas Carigali yang beroperasi menjadi tertawaan, karena terlalu gigih mengebor/eksplorasi walaupun tidak pernah mendapatkan minyak, malah disarankan diruwat dalam istilah jawa membuang sial dengan mengganti nama menjadi "CariDapet". Padahal pada laporan Wood Mackenzie disebutkan bahwa Petronas merupakan perusahan yang paling agresif dalam melakukan pencarian cadangan migas baru, setiap tahunnya mereka melakukan 300 pengeboran dan kita hanya bisa merencanakan 100 sumur walaupun hanya terealisasi 20 sumur. Petronas Carigali nama yang sarat makna dan spirit kerja keras, terbukti mereka menemukan 3 wilayah kerja dengan cadangan migas baru, dengan total cadangan saat ini 8 milyar boe. Kita hanya fokus pada produksi dan menyisakan cadangan nasional 3 milyar boe.
Sepertinya kita telah kehilangan karakter Soekarnoisme sebagai frontier atau pembuka jalan didepan. Petronas melakukan ekspansi ke luar negeri dengan CariGali dan berhasil meningkatkan produksinya sampai 40%. Mereka juga berhasil membangun gedung kembar tertinggi di dunia. Namun ketika kita berusaha menjadi follower-nyapun menemui kegagalan, sumur2 produksi yang dibeli diluar negeri mulai mengering, gedung tertinggi yang direncanakan mulai memendek walaupun hanya masih dalam tahap perencanaan. Sepertinya Indonesia yang dulunya perkasa, sekarang sedang terlelap dalam tidur panjangnya (sleeping beauty) tapi yakinlah ketika ia mulai mengeliat itu akan sangat mempesona dan membuat terperanjat para tetangga dan dunia. Ketika tiba saat itu, kita bisa melakukan modifikasi dan Regenerasi PSC ke 7 atau ke 8 yang akan melambungkan Pertamina pada peringkat perusahaan dunia. Pertanyaan utamanya adalah siapkah kita menjadikan Pertamina sebagai "World Class Company". Menteri Keuangan Malaysia saja mengeluh kepada PM akan indepedensi dan besarnya dana yang dikelola Direksi Petronas. Sebagai ilustrasi, jika saat ini Pertamina pendapatan pertahun yang mencapai $70milyar akan berlipat melebihi dana APBN. Apakah nantinya, para politisi yang genit2 dan para pejabat2 itu tidak akan tergiur untuk mengintervensi keseksian Pertamina. Akan sangat kasihan kalo ini hanya akan menjadi tambahan kerjaan rumah bagi si banteng kurus. Secara sederhana ketika kita mengembalikan semua fungsi pengelolaan wilayah kerja migas kembali dibawah Pertamina dan tidak lagi dibawah skkMigas maka otomatis pertamina mengelola seluruh produksi nasional 800rb boe termasuk yang dikelola Exxon, Chevron, BP, Total, Cnooc dll. Dalam kondisi normal, ini akan berarti melompatkan peringkat Pertamina menempel Petronas. Selanjutnya, SkkMigas dialih fungsikan untuk ditarik lebih ke hulu lagi untuk mengelola "Petroleum Fund" yang akan diperoleh dari dana royalti migas untuk digunakan pada kegiatan "CariGali" cadangan baru. Kita bandingkan dengan pemerintah India yang berani mengelontorkan dana $1milyar hanya untuk kegiatan eksplorasi migas. Sementara dana royalti migas kita sebesar 1% hanya digunakan untuk operasional kantor skkMigas yang fancy dan luxuries.
Pada kondisi harga minyak yang sangat murah ini, prioritas utama kita bukanlah pada peningkatan produksi akan tetapi fokus pada pencarian cadangan baru melalui kegiatan eksplorasi seperti melakukan survei, procesing dan interpretasi yang dilakukan untuk penguatan kompetensi dan kemampuan industri lokal. Sebagai kisah penutup tulisan ini mengenai Presiden Soearno yang dijatuhkan tahun 1966 dengan barter pengolahan tambang tembaga, emas dan perak di Tembagapura - Papua oleh PTFI. PTFI mulai beroperasi tahun 1967 dengan sistim kontrak karya atau konsesi royalti sebesar 1% bagi RI selama 40 tahun. Untuk mensejahterakan rakyat dan bangsanya bung Karno sudah menghapus sistim kontrak karya dan konsesi VOC disektor migas sejak tahun 1960. Oleh karena itu, sebagai penghormatan kita akan cita-cita Soekarno dan sumberdaya alam yang dibarterkan atas namanya maka konsep PSC dapat mulai diperkenalkan dan diterapkan disektor tambang mineral dan batubara. Terimakasih dan semoga bermanfaat, Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H