"olah rasa"
dalam tradisi para pendekar, untuk sampai pada tingkat "kedigdayaan" yg tinggi, haruz bersemedi, laku nyepi meng-olah rasa-kan diri?
& bukannya terus-terusan terpatri pada kepandaian-kepandaian "kanuragan" yg serba fisik jasadi belaka? begitupun romadhon ini, dalam kebiasaan "menahan", seorang mukmin haruzlah juga meng-olah rasa-kan diri untuk sampai pada taraf ketaqwaan yg tinggi, yg digdaya. bukan hanya pandai soal "kanuragan", raga, jasad, fisik, tapi juga mumpuni dalam rasa, ruh, jiwa & kepribadian. & bukankah tingginya kualitas pribadi seseorang hanya bisa diukur dari seberapa mampu menumbuhkan kebaikan-kebaikan di sekelilingnya? seberapa sanggup kemampuannya menjadi rahmat bagi alam semesta? Lalu.. . jika awalnya romadhon penuh dengan rahmat, sudah bisakah kita merahmati semua? jika pertengahannya adalah kucuran maghfiroh-NYA, seberapa berlapang dadakah kita untuk saling memaafkan & meminta maaf? jika di akhirnya adalah proses "'itqun minan naar" (penyelamatan dari api neraka), mampukah kita bertindak menyelamatkan semesta dari kehancuran, menyelamatkan sesama dari siksaan-siksaan duniawinya? ah.. .!? ato akankah kita membiarkan romadhon berlalu begitu saja tanpa ada peningkatan kualitas diri? ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H