seperti hidup yang pelan mengendap menuju lahat, kopi cingkir ini pun lambat dan pasti menuju dingin lantas basi.kita pun tak bakal bisa menduga kapan menuju ambang itu.angka-angka yang dulu keramat makin rumit dihitung dan dieja.
mungkin kita gagal menjumlahnya atau lalai mengurangi seperti kita gagal mengurangi beban,di punggung yang bongkok dihisap uban
secingkir kopi ruap panasnya pelan membumbung ke awan-awan, namun pahitnya yang kental mencandu dalam tubuh, persis pahitnya hidup yang nyeri diberangus angka-angka.
cingkir kopi pelan-pelan dingin lantas basi.cuma kenangan lewat dan harapan yang kabur sebelum jadi ingatan.
cingkir kopi dan kita termangu menunggu senja walau pagi baru saja parak. sebab waktu tak mau kompromi.sebab takdir sudah terlanjur dirajahkan di telapak tangan kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H