WS.Rendra pernah menaut-nautkan dunia aksara dengan dunia beladiri. Rendra menolakbelakangkan dunia persuratan (tulis menulis, jalan aksara) dengan dunia persilatan (dunia beladiri,jalan pedang). Ia mengatakan bahwa tidak ada yang nomor satu dalam dunia persuratan, sedang dalam dunia persilatan tidak ada nomor dua.Â
Fatwa Rendra itu bermakna bahwa dalam dunia persilatan, tak ada tempat bagi nomor dua, dunia persilatan hanya milik mereka yang jago. Mereka memperebutkan jawara nomor satu, yang tak mampu jadi nomor satu silakan menyingkir! Jalan pedanh adalah jalan memperebutkan siapa yang nomor satu.
Sebaliknya, jalan aksara ditegaskan Rendra, tidak ada yang paling jawara. Tidak ada yang nomor satu dalam jalan aksara, tak ada yang lebih hebat antata penulis satu dengan yang lain. Sungguh pun dalam kenyataannya selalu saja kisah kanonisasi dalam sastra Indonesia yang memosisikan seorang penulis sebagai garda depan, yang secara otomatis menyisihkan sastrawan yang lain.
Secara filosofis, saya sepakat dan setakat dengan fatwa Rendra di atas. Namun ada perspektif lain dalam diri saya memandang dua dunia itu. Menurut saya jalan aksara dan jalan pedang adalah jalan yang sama. Jalan yang sama artinya kedua jalan itu menempatkan perjalanan proses dan kerja sungguh-sungguh sekaligus pengabdian untuk menempatkan diri di kedua jalan itu. Ya, jalan alsara dan jalan pedang adalah jalan pengabdian tiada putus!
Pengalaman pribadi, kedua jalan tersebut saya tempuh. Kedua-duanya saya mulai dalam waktu yang bersamaan. Tahun 1987 saya mencoba menulis dengan bersungguh-sungguh (baca sebagai jalan hidup) sekaligus menekuni dunia beladiri (jujitsu) sebagai jalan hidup pula. Jalan hidup disini bermakna sebagai upaya menjadikan diri sebagai insan yang memiliki daya hidup, potensi menghidupkan/bermanfaat bagi sekelilingnya, dan mampu menjadikan diri sendiri yang sanggup memaknai kehidupan.
Ternyata secara filosofis, dua jalan tersebut memiliki kelindan. Dalam jujitsu,saya menemukan filosofi "menempa baja menjadi jarum" dan dalam dunia aksara saya menemukan filosofi yang sama bahwa menulis adalah proses yang tak berujung, proses sebagai (meminjam istilah arifin c noer): "sumur tanda dasar".
Kedua jalan itu pun membukakan pintu untuk memahami segala aspek daya hidup. Memahami secara filosofis unsur-unsur kedigdayaan manusia yang mungkin ditengarai Nitzche sebagai manusia paripurna atau Iqbal menyebut sebagai insan kamil,dengan mendorongdan mencipta sekaligus mendayagunakan "quddi" dalam dirinya.
Ternyata jalan aksara dan jalan pedang memiliki tugas yang sama yaitu membentuk manusia yang hidup, menghidupi, dan menghayati kehidupan dan kemanusiaan. Maka tak heran dalam naskah-naskah klasik Cina dan Jepang banyak disebutkam keterlibatan pedang dan aksara sebagai alat ukur kualitas diri seseorang. Contoh yang jelas misalnya pada naskah Nakamitsu, Musashi atau terimplisitkan dalam sajak-sajak Cina klasik.
Akhirnya, selamat kepada siapa saja yang sanggup menyerahkan hidup nya pada jalan aksara dan jalan pedang. Tabik!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H