Tersebutlah sebuah kitab berjudul Surya Sidharta yang muncul di zaman Hindu-Budha meramalkan manusia akan memasuki suatu era yang penuh kegelapan: Kaliyuga!
Masa kegelapan ini akan menyelimuti jagat selama 432000 tahun. Istilah kali dalam kaliyuga bermakna perwujudan negatif, keburukkan dunia, dan kehancuran dunia.
Di zaman kaliyuga ini terjadi krisis moral yang hebat. Disebut-sebut moralitas manusia tinggal tersisa saja. Kaliyuga ini ditandai dengan beberapa fenomena sosial. Di antaranya terjadi perubahan yang tak diinginkan sekaligus tak dapat dielakkan.Â
Pudarnya intelektualitas manusia karena justru yang tak berilmu mengajarkan kebenaran, dusta menjadi kebenaran, yang tua tak menghargai yang muda sedang yang muda mengabaikan hormat pada yang tua, serta para guru kehilangan martabat kehormatannya. Tabiat buruk bersaing, kejahatan dan kekerasan merajalela karena kama (nafsu) mengontrol manusia. Di sisi lain, kesucian lenyap, kebajikan meredup dan kesusilaan sirna.
Berabad setelah Kaliyuga ditulis, di abad pertengahan pada era kerajaan Jawa tersebutlah seorang Ronggowarsito, filsuf dan sastrawan terakhir Jawa ini kemungkinan membaca kitab tersebut.Â
Maka terjadilah intertekstual. Ranggawarsita memotret ulang kecemasan itu.  Lantas menuliskannya dalam sebuah serat berjudul Kalatida. "Kala" yang bermakna adalah zaman atau era, sedangkan tida berarti kecemasan; zaman penuh kecemasan.
Dalam serat Kalatida atau serat zaman yang penuh kecemasan, Ronggowarsito menyaksikan fenomena keruntuhan manusia akibat abai terhadap nilai.Â
Ronggowarsito tidak melihat dan menyoal apakah abai terhadap nilai ini disebabkan pergeseran cara pandang nilai atau hal yang lain, tetapi ia melihat bahwa keabaian pada nilai itu menjadi pintu gerbang kehancuran dan kemerosotan manusia
Dituliskan dalam serat yang populer itu bahwa ada sebuah zaman para manusia dan  pemimpinnya menjadi ragu-ragu dan cemas melihat tanda-tanda krisis moral dan kemanusiaan. Para intelektual seperti juga para pemimpin  dihinggapi kecemasan dan keraguan yang sama, gamang menerka 'apa yang akan terjadi dengan fenomena krisis kemanusiaan yang gila-gilaan.Â
Ronggowarsito menyebut tanda-tanda zaman yang suram itu dengan istilah 'zaman edan'. Ronggowarsito sebagai intelektual merasa gagal mencari berbagai kemungkinan menata ulang agar manusia bertahan dari keruntuhan moralnya.Â
Namun, Ranggawarsito tak hanya berhenti pada meratapi gejala kemerosatan moralitas itu. Sang pujangga itu memberi sebuah resep yaitu eling dan waspada.Â