lelaki itu masih saja berdiri di perempatan jalan dengan berlembar kertas dan potlot tak lagi runcing ujungnya
: kalimat-kalimat harus kembali disakralkan. yang tajam, lirih, lantang dan lembutÂ
jangan lagi dideklamasikan atau jadi sesorah.Â
kalimat dan frase-frase harus ditimbang ulang.Â
harus ditandai mana reklame mana prasasti,Â
mana yang bemakna atau sekedar asap membumbungÂ
berbusa di meja-meja parlemen dan berputaran di panggung kampanye Â
atau jadi kecupak lipstik  di televisi-televisi
lelaki itu masih harus tetap berada di perempatan jalan, Â
sebab harus ada yang menatap apa yang ada di balik ujung,Â
 karena kata yang lepas dari aksara masih harus diwaspadai.