dengan sorot mata selalu sama, mata yang memyumpan seribu taksir, lelaki itu selalu saja berdiri di sudut perempatan dengan mulut membisu namun menyimpan kelebat tanya seperti bunyi dentuman.menunggu sesuatu lewat, namun tak pernah lambaikan tangan pada taksi, bus, truk yang menderu, pun tak mengangguk pada tukang ojek yang tawarkan arah tujuan.
di perempatan, di antara tikungan dan lampu lalu lintas, hiruk pikuk ritual saban pagi sampai lepas senja.matanya menyimpan seribu taksir.tangannya menggenggam berlembar kertas dan potlot yang tak lagi runcing ujungnya.
: "jangan kau umbar kata-kata lewat mulutmu yang sudah terlampau bacin, keluarkan pensil dan tuliskan agar tak hilang seperti lengking pidato para politisi.catatlah apa saja yang engkau lihat, sebab tak ada lagi kepercayaan pada kata-kata penuh janji dan rayuan, bahasa para kuntilanak dan genderuwo yang terjelma dari baliho, poster, potret, visi dan misi yang semuanya hanya seringai dan bujuk rayu:'peluklah aku akan kuberi engkau permen semanis tuba!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H