Jawa merupakan sebuah wilayah yang multikultur. Berdasarkan karakteristik yang meliputi pusaka budaya (cultural heritage), baik yang bersifat bentuk budaya kebendaan (tanibles) maupun yang nonbendawi (intangibles), Jawa dapat dipetakan dalam sepuluh wilayah kebudayaan (Sutarto, 2004).Â
Sepuluh wilayah kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Jawa Mataraman, kebudayaan Jawa panaragan, kebudayaan Arek, kebudayaan Tengger, kebudayaan Osing, kebudayaan Pandalungan, kebudayaan Madura Pulau, kebudayaan Madura Bawean dan budaya madura kangean.Â
Tiap-tiap peta kebudayaan tersebut menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas dan masing-masing memiliki keunggulan.
Secara kesejarahan atau historis, kondisi geografis dan geokultural masyarakatnya yang agraris, manusia Jawa memiliki ikatan budaya yang erat dengan kerajaan Mataram. Masyarakat Jawa yang geokulturalnya agraris maka mereka sangat dekat dengan alam tumbuh-tumbuhan.
Kedekatan masyarakat Jawa dengan dunia alam tumbuh-tumbuhan melahirkan filosofi-filosofi yang berakar dengan dunia tetumbuhan, yang di antaranya adalah filosofi tuwuhan.Â
Dalam bahasa Jawa tumbuhan disebut tuwuhan, yang memiliki arti: tumbuh, timbul, terbit, turun atau keturunan. Eratnya hubungan masyarakat Jawa dengan tetumbuhan menjadikan mereka cenderung meleburkan diri dengan dimensi alam berupa gunung, tanah dan tumbuhan yang dipakai sebagai citraan dirinya.
Oleh karena itulah, tidak mengherankan nama-nama desa di Jawa sering menggunakan nama tetumbuhan seperti desa Pelem, Cempoka, Randu Sanga, Sawo, Karang Jati, Peh Nangka, Samben (sambi), Jati Mulya, Sambi Lanang, Pasar Legi, dll.Â
Dalam menjalani laku tirakat dan prihatin pun wong Jawa tidak dapat meninggalkan anasir tetumbuhan. Ada lelaku nyirik (berpantang makan daging) hingga mereka jadi vegetarian. Ada lelaku ngrowot yaitu tidak makan nasi tapi hanya mengonsumsi sayur dan umbi-umbian.Â
Pada hakikatnya semua laku tersebut menjadikannya hasil tumbuhan sebagai kebutuhan utama untuk meraih kelangsungan hidup yang sejahtera. Ibaratnya tumbuhan adalah mesiu bagi peluru. Wong Jawa percaya tanpa tumbuhan manusia tidak akan mampu menunaikan kehidupannya dengan sempurna, sehat, selamat lahir dan batin..
Wong Jawa menjadikan tumbuhan sebagai sedulur sinarawedi sekaligus simbolisasi kekuatan, kesabaran, kejujuran, keikhlasan, kesetiaan yang didambakan.Â
Manusia bagi wong Jawa tak ubahnya tuwuhan yang sepi ing pamrih, sabar, ikhlas, setia, sekaligus kokoh dan tidak mudah menyerah dan memberikan banyak manfaat bagi mahluk sesama.***