Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuwuhan, Filosofi Manusia Jawa yang Berbasis Budaya Agraris

17 September 2020   20:15 Diperbarui: 17 September 2020   20:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jawa merupakan sebuah wilayah yang multikultur. Berdasarkan karakteristik yang meliputi pusaka budaya (cultural heritage), baik yang bersifat bentuk budaya kebendaan (tanibles) maupun yang nonbendawi (intangibles), Jawa dapat dipetakan dalam sepuluh wilayah kebudayaan (Sutarto, 2004). 

Sepuluh wilayah kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Jawa Mataraman, kebudayaan Jawa panaragan, kebudayaan Arek, kebudayaan Tengger, kebudayaan Osing, kebudayaan Pandalungan, kebudayaan Madura Pulau, kebudayaan Madura Bawean dan budaya madura kangean. 

Tiap-tiap peta kebudayaan tersebut menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas dan masing-masing memiliki keunggulan.

Secara kesejarahan atau historis, kondisi geografis dan geokultural masyarakatnya yang agraris, manusia Jawa memiliki ikatan budaya yang erat dengan kerajaan Mataram. Masyarakat Jawa yang geokulturalnya agraris maka mereka sangat dekat dengan alam tumbuh-tumbuhan.

Kedekatan masyarakat Jawa dengan dunia alam tumbuh-tumbuhan melahirkan filosofi-filosofi yang berakar dengan dunia tetumbuhan, yang di antaranya adalah filosofi tuwuhan. 

Dalam bahasa Jawa tumbuhan disebut tuwuhan, yang memiliki arti: tumbuh, timbul, terbit, turun atau keturunan. Eratnya hubungan masyarakat Jawa dengan tetumbuhan menjadikan mereka cenderung meleburkan diri dengan dimensi alam berupa gunung, tanah dan tumbuhan yang dipakai sebagai citraan dirinya.

Oleh karena itulah, tidak mengherankan nama-nama desa di Jawa sering menggunakan nama tetumbuhan seperti desa Pelem, Cempoka, Randu Sanga, Sawo, Karang Jati, Peh Nangka, Samben (sambi), Jati Mulya, Sambi Lanang, Pasar Legi, dll. 

Dalam menjalani laku tirakat dan prihatin pun wong Jawa tidak dapat meninggalkan anasir tetumbuhan. Ada lelaku nyirik (berpantang makan daging) hingga mereka jadi vegetarian. Ada lelaku ngrowot yaitu tidak makan nasi tapi hanya mengonsumsi sayur dan umbi-umbian. 

Pada hakikatnya semua laku tersebut menjadikannya hasil tumbuhan sebagai kebutuhan utama untuk meraih kelangsungan hidup yang sejahtera. Ibaratnya tumbuhan adalah mesiu bagi peluru. Wong Jawa percaya tanpa tumbuhan manusia tidak akan mampu menunaikan kehidupannya dengan sempurna, sehat, selamat lahir dan batin..

Wong Jawa menjadikan tumbuhan sebagai sedulur sinarawedi sekaligus simbolisasi kekuatan, kesabaran, kejujuran, keikhlasan, kesetiaan yang didambakan. 

Manusia bagi wong Jawa tak ubahnya tuwuhan yang sepi ing pamrih, sabar, ikhlas, setia, sekaligus kokoh dan tidak mudah menyerah dan memberikan banyak manfaat bagi mahluk sesama.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun