Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lowker Loker

1 Agustus 2011   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lowongan pekerjaan yang diterbitkan pada surat kabar dari waktu ke waktu masih menjadi primadona para pencari kerja. Seberapa kali pun mereka menjumpai iklan-iklan tersebut, para pencari pekerjaan seperti tidak pernah bosan. Sangat mengagumkan determinasi mereka itu. Berbagai jenis pekerjaan dan jabatan ditawarkan oleh pembuka kesempatan kerja yang berasal dari bidang usaha yang bermacam-macam. Jika hari Sabtu tiba, antusiasme untuk membaca lowongan pekerjaan semakin meninggi karena biasanya pada hari ini terdapat banyak lowongan, jauh lebih banyak malahan dibandingkan hari-hari lainnya.  Iklan lowongan pekerjaan pada surat kabar, yang sebagian besar memuat perusahaan swasta, bersaing di dalam menghimpun "penggemar" dengan lowongan Pegawai Negeri Sipil. Jika kita amati berita-berita yang diterbitkan oleh surat kabar, nampaknya iklan lowongan pekerjaan menduduki "rating" tertinggi. Sayang sekali, sepertinya belum ada semacam "kode etik" penerbitan iklan lowongan pekerjaan, sehingga seringkali ditemui lowongan yang bernuansa diskriminatif, pelanggaran HAM, dan, maaf, saya mengistilahkannya sebagai "prostitusi terselubung". Jika istilah ini terlalu kasar, mohon maaf sekali kepada semua pihak yang terkait. Diskriminasi Diskriminasi lowongan pekerjaan memiliki bentuk yang bermacam-macam. Bukti dari diskriminasi ini antara lain dapat ditemukan dari pencantuman syarat pengiriman/penyerahan lamaran yang harus dipenuhi oleh pelamar pekerjaan. Syarat seperti "berpenampilan menarik", "tinggi badan sekian", "cantik", bahkan dulu pernah ada yang secara vulgar menuliskan "yang jelek tidak usah melamar", adalah sebuah penghancuran karakter individu. Meskipun ada persyaratan lain yang kemungkinan besar dapat dipenuhi oleh seorang pelamar, namun syarat-syarat "khusus" tersebut di atas berpotensi menjadi penghalang. Seorang pelamar yang merasa "tidak berpenampilan menarik", misalnya, akan terlebih dahulu merasa "minder". Alhasil, ia tidak jadi mengajukan lamaran. Padahal kemampuan akademis, teknis, dan keterampilan lainnya yang relevan dengan bidang pekerjaan yang ditawarkan sangatlah kompetitif. Perusahaan nampaknya tidak sepenuh hati membuka kesempatan kerja kepada usia produktif. Mereka memasang perangkap yang membatasi jumlah pelamar yang masuk ke meja HRD atau apa lah sebutannya, pokoknya bagian rekrutmen. Jika benar bahwa perusahaan sebenarnya ingin membatasi jumlah pelamar yang masuk agar bagian rekrutmen tidak kewalahan, maka alangkah lebih baik jika mereka menggunakan fasilitas teknologi yang telah maju, misalnya dengan membuka jalur telepon. Pembuka lowongan dapat mencantumkan pengumuman pada iklannya, misalnya, "seleksi akan dilakukan terhadap 20 pelamar pertama yang menelepon nomor ini [sebutkan nomor teleponnya]". Akan tetapi meskipun tujuan sebenarnya ialah untuk membatasi jumlah pelamar, namun pihak pelamar kemungkinan telanjur "eneg" terhadap syarat yang diberikan. Proposisi (1): Iklan lowongan yang memuat diskriminasi tersebut di atas tidak layak untuk diterbitkan dan disebarluaskan. Surat kabar harus mencekalnya jika memang memiliki niat baik untuk menjadi agen perubahan, bukan sekedar meraih popularitas dan menjaring "stakeholders" sebanyak mungkin. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Baru saja akhir pekan ini saya menemukan sebuah iklan "memuakkan". Saya tidak berpihak pada sisi manapun, namun berusaha untuk menyambung aspirasi yang sekiranya "tersentil" oleh tindakan pengiklan. Pada iklan tersebut tertulis persyaratan "wanita (tidak berjilbab)". Ini sudah keterlaluan sekali. Hal demikian akan menimbulkan sebuah distorsi masyarakat. Kita tidak boleh menganggap remeh hal-hal seperti ini. Jika pihak-pihak yang merasa tersinggung menuntut, maka tuntutan tersebut saya rasa sah. Jika nuansa pelanggaran Hak Asasi Manusia ini tidak dihapuskan, maka akan timbul perpecahan. Kita tidak dapat meremehkan sebuah puntung rokok yang masih menyala di dekat stasiun pengisian bensin, bukan? Syarat lainnya ialah dengan menyebutkan agama tertentu, apapun itu agamanya. Akan muncul rasa "tidak enak" pada diri pencari kerja. Pembuka kesempatan kerja lebih baik melakukan rekrutmen "getok tular" (dari mulut ke mulut) dengan memanfaatkan tenaga kerjanya untuk memberitahukan kepada orang yang belum bekerja dan yang sesuai dengan persyaratan yang diminta. Proposisi (2): Iklan ini melanggar Hak Asasi Manusia dan maka dari itu harus dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan "perikemanusiaan dan perikeadilan" (mengutip Pembukaan UUD RI 1945). Prostitusi Terselubung Bagaimana saya tidak menyebutkan demikian. Prostitusi adalah sebuah industri yang berhubungan erat dengan "menjual tubuh" untuk mendapatkan uang. Hal ini berlaku untuk dua jender, meskipun lebih banyak saya amati berlaku untuk perempuan. Mungkin, karyawan yang direkrut merasa tidak diperlakukan sebagai seorang "prostitute"; ia benar-benar niat bekerja dan menjenjangi karir. Akan tetapi, atas dasar apakah perusahaan membeda-bedakan penampilan? Tujuan mereka memasarkan produk/jasa atau memasarkan "pemasar" produk/jasa? Karepmu piye sakjane??? (misalnya, seperti pada pemasaran handphone, jualan apa si? jualan handphone jualan yang menawarkan handphone?) Tidak dipungkiri bahwa penampilan yang menarik adalah magnet untuk menjaring konsumen prospektif, apapun bidang usaha dan industrinya. Pendapat orang yang mengamati pasti beragam. Bohong jika anda, para konsumen, para pengusaha, lebih memilih yang "jelek"!; karena yang "jelek" menurut anda-anda itu tidak sedap untuk dipandang, bukan? Proposisi (3): Iklan yang bernuansa prostitusi (pemanfaatan fisik, baik secara langsung maupun tidak langsung) tidak layak untuk diterbitkan karena memiliki makna yang bias; pelamar pekerjaan kemungkinan akan begitu senang jika ia diterima bekerja, namun siapa tahu isi hati pengusaha?? Siapa pula tahu isi hati konsumen?? Nobody! Kesimpulan Usaha pembukaan kesempatan kerja di Indonesia masih memiliki batasan-batasan tertentu sedemikian rupa sehingga menghambat kreasi dan minat pihak-pihak yang merasa mampu secara teknis, namun tidak mampu secara nonteknis. Akibatnya, banyak usia produktif yang sebenarnya inovatif, penuh inisiatif, dan memiliki potensi untuk memberikan hasil yang lebih baik kepada perusahaan, menjadi mengurungkan niatnya karena terlebih dahulu merasa "minder". Mungkin, dan ini hanya mungkin, bangsa Indonesia tengah mengalami sebuah pergesaran nilai. Penerapan budaya-budaya asing ke sendi-sendi kehidupan terlihat semakin jelas. Penampilan yang perlente, yang menarik, menggugah minat (dan mungkin juga "nafsu syahwat") target yang diinginkan (dalam hal ini konsumen, dan mungkin pengusahanya sendiri agar bersemangat kerja karena karyawannya "menggugah selera") adalah sebenarnya modal utama. Angka pengangguran yang masih tinggi di negeri kita hendaknya menggugah para pengusaha untuk memberikan seluas-luasnya kesempatan kerja bagi mereka yang lebih mengandalkan "bekerja sebagai karyawan" dibandingkan "bekerja sendiri". Tidak menjadi masalah bagi mereka yang telah memiliki kemampuan individu yang mampu sekiranya menghidupinya, misalnya kemampuan reparasi perangkat komputer, berbahasa asing, memasak, mengasuh anak, mekanik, menjahit, melukis/menggambar, mengolah data, dan keahlian-keahlian khusus lainnya. Mereka pasti tidak akan peduli dengan godaan iklan karena merasa yakin mampu "hidup" dan "makan" tanpa harus menjadi karyawan pada sebuah perusahaan. Sebaliknya, akan menjadi masalah besar yang membuat "stress" bagi mereka yang merasa tidak mampu memenuhi syarat nonteknis (syarat yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan bidang pekerjaan), namun pada sisi lain juga tidak merasa menguasai keahlian tertentu untuk bekerja sendiri. Siapa tahu pada benak kawan-kawan di luar sana ada yang berkata, "ough! aku ini sudah jelek, tidak punya keahlian lagi...." Mesakke to nek nganti koyo ngono kuwi? Mbok sing adil ah. Saran Screw discrimination at workplace !!!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun