Argentina adalah salah satu kekuatan sepakbola dunia yang disegani. Negara ini termasuk dalam kelompok "Big Boys" bersama tim-tim tradisional seperti Brasil, Italia, Jerman, Inggris, Prancis, Belanda, dan Spanyol. Dengan reputasi sebagai juara dunia dua kali dan juara Amerika Selatan 14 kali (sementara rekor bersama Uruguay), Tango, demikian julukan tim ini, menjadi "the most wanted team". Tidak kurang bakat hebat lahir di negeri ini. Semenjak era Guilermo Stabile hingga Lionel Messi -- dan di antara mereka terselip Sang Dewa, Diego Maradona -- Argentina sangat berpotensi untuk tampil sebagai tim terbaik di dunia.
Entah mengapa, dengan pemain-pemain hebat dalam tiap generasinya Argentina tidak memiliki prestasi yang lebih "wah". Negara ini memang menjadi kolektor terbanyak Copa America, akan tetapi seharusnya prestasinya lebih dari itu, misalnya menjadi juara pada setiap Piala Dunia. Argentina seperti menjadi Inggris-nya Amerika Latin: sarat bintang di lapangan, kesulitan mengoleksi tanda bintang pada kostum nasionalnya (baca: Juara Dunia).
Jika Inggris terganggu oleh masalah "internasionalisasi" Premier League, hingga untuk posisi penjaga gawang pun tak tersisakan bagi pemain domestik, maka masalah yang sering mengganggu Argentina saat ini ialah Diego Armando Maradona!
Tidak diragukan lagi bahwa Maradona adalah mahabintang. Maradona adalah makhluk istimewa di lapangan hijau. "He is just...larger-than-life! Argentina sejak era 1980an adalah Maradona; begitu pula sebaliknya. Sebegitu hebatnya kharisma "El Pibe d'Oro" sehingga ketika muncul bintang-bintang baru Tango yang memiliki skill istimewa, apalagi dengan perawakan yang mirip Maradona, acap kali orang sebut sebagai "Maradona Baru". Dari sini jelas sekali bahwa Argentina masih terngiang-ngiang oleh "hantu kemaharajaan" Diego "El Dio" Maradona. Bahkan, pengaruh Maradona masih ampuh hingga persiapan tim menuju Copa America 2011. Sergio Batista sebagai pelatih tak kuasa memegang prinsipnya dan akhirnya "mengalah" untuk memanggil Carlos Tevez, salah satunya, akibat kritisi pedas dari Sang Mahabitang.
Hal berbeda terjadi pada tim Samba Brasil. Brasil pernah memiliki dan sangat identik dengan Pele. Kemudian pada akhir dekade 1970an muncul seorang bintang baru berkulit putih bernama pop Zico. Zico-lah yang kemudian digelari "Pele Putih". Pele memang bagian tak terlepaskan dari kedidgayaan Selecao dalam percaturan sepakbola dunia. Namun, setelah era Zico berlalu, Brasil beranjak "melupakan" kebintangan Pele. Orang Brasil sepertinya paham benar tentang keadaan yang selalu berubah. "Pele itu dulu. Sekarang bukan zamannya Pele," mungkin demikian prinsip mereka. Tidak ada bintang penerus yang diberi label "Pele baru", setidaknya secara bombastis. Maka lahirlah Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, dan Kaka (nama-nama yang saya sebut ini "bernasib" sama: menjadi FIFA World Player of the Year), dengan ciri khas independen masing-masing. Demikian pula bagi Argentina.. Bahwa mereka tidak lagi bersama Maradona. Maradona tidak akan ada dalam skema tim saat ini dan selanjutnya. Jika Argentina mampu melepaskan dari bayang-bayang "intimidasi" Maradona, para pemain pasti akan tampil lebih leluasa, tanpa beban, dan lebih kreatif. Mereka bukanlah pengganti atau duplikat Maradona, melainkan seorang Messi, Tevez, Mascherano, Romero, Lavezzi, atau Di Maria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H