[caption id="attachment_106781" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Peserta memakai beragam jenis kostum yang dikreasi bertemakan batik dan flora dalam acara Semarang Night Carnival di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (30/4/2011). Karnaval tersebut dalam rangka memeriahkan HUT Ke-464 Kota Semarang/Admin (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)"][/caption]
“Semarang kaline banjir; Ojo sumelang ora dipikir…”
Bukak kelir
Penggalan syair tembang “Jangkrik Genggong”yang ditenarkan oleh Ibu Waldjinah ini terasa erat melekat pada sendi-sendi Kota Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang merayakan hari jadi ke-464 pada tanggal 2 Mei 2011 ini.
Dalam banyak kesempatan, orang dari luar kota Semarang berkata kepada saya, “Semarang banjir ya, mas.” Ah, memang benar, kok. Bahkan “ke-banjir-an” Semarang ini diabadikan lewat tembang di atas. Bagian daerah Semarang memang sering kebanjiran. Tapi, “ojo sumelang” (jangan khawatir). Banjir telah menjadi semacam tradisi kota ini. Sebenarnya tidak akan terjadi banjir jika kepadatan penduduk lebih terkendali. Menurut sejarah tempat-tempat yang kini menjadi langganan banjir dahulunya adalah wilayah perairan, bukan daratan. Bisa jadi demikian mengingat “petilasan” (peninggalan) Laksamana Cheng Ho (pelaut legendaris dari negeri Tiongkok) terdapat jauh dari pantai sekarang. Konon kabarnya salah satu dermaga tempat berlabuhnya kapal berlokasi di Pasar Bulu, Jalan Soegijapranata (sebelah Utara bundaran Tugu Muda) sekarang. Baiklah, lupakan tentang masalah banjir karena saya akan menyajikan gambaran tentang warna-warni kota Semarang. Saya telah tinggal di kota ini selama hampir dua windu.
Sosial-budaya
Masyarakat Semarang relatif bersahabat.Nada bicaranya tidak selembut dan selirih gaya Surakarta atau Yogyakarta. Akan tetapi pada dasarnya orang Semarang tergolong baik hati dan ramah. Anda akan masih menemukan banyak orang yang bersedia memberitahukan arah manakala anda tersesat. Kuncinya, bertanyalah secara sopan dengan menyadari bahwa andalah yang membutuhkan, bukan mereka.
Warga Semarang masih tergolong “konservatif” di dalam berperilaku. Masih bertahannya ritual-ritual dalam acara khusus membuktikan bahwa kota ini masih terjaga tradisionalismenya. Kemudian dalam urusan hubungan antarpersona dan antarkelompok warga Semarang masih rukun. Kegiatan gotong-royong masih sering dilakukan. Semarang itu ibarat “ati ndeso rai kutho” (penampilan luarnya saja yang kota, tapi jiwanya masih orang kampung, tapi bukan kampungan, lho! Haha).
Kota batik di Pekalongan, kota budaya dan pelajar di Yogyakarta. Tetapi, bukan berarti Semarang tidak membudaya, dalam arti budaya berupa kesenian (makna budaya lebih sempit). Kota ini memiliki ciri khas peristiwa yang dikenal dengan nama “Dugderan”, sebuah upacara yang dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam acara ini terdapat sebuah simbol (atau maskot lah) makluk “multispesies” bernama “Warak Ngendhog”. Selain itu, pagelaran kesenian juga masih berlangsung secara reguler, khususnya wayang orang dan wayang kulit. Belum lagi kegiatan sanggar tari dan teater.
Semarang bukanlah kota murni wisata, murni pendidikan, atau murni bisnis. Melainkan, terjadi bauran antara bidang-bidang kegiatan ini. Saya katakan, “Semarang itu keras!” Ia sangat berwarna berkat kombinasi berbagai unsur. Kombinasi yang membentuk senyawa ini sebenarnya dapat kita manfaatkan untuk menguji ketahanan mental. Kita akan berjumpa beraneka ragam manusia berikut prinsip, pandangan, dan kebiasaan mereka. Janganlah sesekali anda merasa ragu dan bimbang. Yakinkanlah hati anda. Ini sekedar “gertak Semarangan.” Just take it or leave it! Hihi.
Keagamaan
Bagaimana ya? Saya paling takut membicarakan masalah ini. Jika boleh, saya lewatkan saja. Ehm, tapi baiklah saya akan mencoba menggambarkannya. Bagi saya hidup di Semarang itu aman bagi penganut agama apa saja. Di kota ini terdapat masjid, katedral, klenteng, dan vihara. Semarang itu menurut saya adalah “neutralizer” bagi nilai pH yang terlalu asam maupun terlalu basa. Tidak ada gunanya anda ngotot atau bersitegang masalah keyakinan. Sepertinya jiwa kota ini telah terpatri oleh semangat toleransi. Dari sejarahnya pun perkembangan Semarang tidak lepas dari kinarya saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa, selain ada pula saudara keturunan India dan Arab.
Anda boleh menganggap Semarang adalah wilayah “sekuler”, namun pada kenyataannya kegiatan religius di kota ini juga tidak kalah dari kota-kota setara lainnya. Jika anda telusuri lebih mendalam, warga Semarang itu sesungguhnya paham tentang berbuat menurut aturan Tuhan, lho. “Wong Semarang yo ngerti dosa.” (orang Semarang juga mengerti dosa).
Olahraga
Sekarang?? Ya, sekarang ini? Lumayan semenjana (haha!). Padahal kota ini termasuk memberi andil besar bagi perkembangan olahraga nasional. Sebagai contoh, saya pernah membaca tentang sejarah sepakbola dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Diceritakan bahwa pertandingan awal tim nasional Indonesia pada level internasional berlangsung di Lapangan Garnisun Kalisari (sekarang Jalan dr. Sutomo, kawasan Rumah Sakit Umum Pemerintah dr. Karyadi). Hingga kini lapangan itu masih ada, lho.
Semarang juga pernah menyelenggarakan turnamen tingkat nasional bulutangkis Piala Walikota (mengorbitkan Yuni Kartika dan Eddy Kurniawan) dan sepakbola internasional Piala Tugu Muda. Kota ini memiliki Stadion dan Gedung Olahraga (GOR) Trilomba Juang yang terdapat di daerah Mugas, arah menuju pusat perbelanjaan Jalan Pandanaran. Stadion/GOR Trilomba Juang Mugas menjadi pengingat hegemoni Provinsi Jawa Tengah dalam lomba gerak jalan “Trilomba Juang” pada masa Orde Baru. Kemudian, pencinta tim nasional sepakbola Indonesia pasti ingat Ribut Waidi. Dialah pencetak gol kemenangan Merah Putih atas Malaysia dalam final SEA Games 1987. Ribut adalah salah satu putra terbaik PSIS Semarang. Terakhir, siapa lagi kalau bukan Chris John?? The Dragon is the World Champion!! Meskipun bukan aseli Semarang, namun namanya tenar dari kota ini.
Pendidikan
Khususnya pendidikan tinggi, Semarang masih kalah reputasi dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Menurut saya masalahnya sekedar akses dan kedekatan. Jika tolok ukurnya adalah berapa banyak orang penting (atau yang dianggap penting, atau dipenting-pentingkan) yang “menguasai negara”, ya Semarang jelas kalah, to ya (ungkapan khas Semarang nih…hehe). Ehm, tapi faktanya semakin banyak perguruan tinggi bermunculan di sana. Saya hanya mampu berkata, “Semoga fenomena ini meningkatkan daya saing.”
Mengenai pendidikan dasar, saya rasa di mana-mana sama, deh. Perkembangan anak itu seberapa, to? Hanya saja, jauh dan dekatnya akses (sekali lagi) informasi terkini menjadi kendala.
Politik
Seorang kawan mengatakan bahwa Semarang itu termasuk “sumbu panjang”. Beliau menganalogikan kondisi politik sebagai sebuah mercon. Jika mercon itu memiliki sumbu panjang, maka akan lebih sulit meledak, sedangkan jika mercon tersebut memiliki sumbu pendek, maka akan lebih mudah meledak. Ya, dapat dikatakan pula bahwa ketegangan politik di Semarang memerlukan waktu yang lebih lama. Jika hal ini disebabkan jauhnya jarak Semarang dari Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, faktanya banyak kota yang berlokasi lebih jauh daripada Semarang jika diukur dari Jakarta yang lebih “menakutkan”, haha! Ya, bukti telah ada: revolusi 1998 menjadi saksi betapa “ademnya” Semarang. Padahal kota ini termasuk penting, namun tidak ada gejolak yang signifikan terjadi selama revolusi berlangsung. Setidaknya, hasil penangkapan kasat mata saya sebagai salah satu saksi dan sekaligus ikut demonstrasi waktu itu, hihi. Semoga tetap demikian adanya, ya…
Ketenagakerjaan dan kriminalitas
Saya gabungkan saja dua bidang ini karena sering berhubungan. Angka pengangguran (menurut versi “tidak bekerja berarti menganggur”; saya tidak setuju sebenarnya karena ‘bekerja’ di sini seperti ‘harus’ menjadi karyawan pada sebuah perusahaan/instansi) kota Semarang masih lumayan tinggi. Terbukti, setiap hari saya masih menyaksikan orang usia produktif berkeliaran tidak jelas arahnya. Masih banyak pengamen (bagaimana mungkin saya katakan bekerja karena aktivitasnya sekedar meminta uang dengan menyanyi sebentar, lebih sering dengan pasang muka sangar, pamer tattoo, tattonya jelek lagi, dengan suara yang asal-asalan) dan pengemis. Tiap hari saya menjumpai dua kelompok manusia ini mendatangi rental komputer saya. Tidak jarang, pagi-pagi sebelum aktivitas saya dimulai sudah ditodong oleh mereka. Akh! Sungguh teganya mereka itu. Seperti tidak berperikemanusiaan.
Angka kriminalitas lumayan terkendali. Kekerasan seperti perkelahian antarpelajar jarang terjadi. Hanya saja pencurian sering terjadi. Ya, mungkin tindak pencurian dan sebangsanya terjadi pula di kota-kota lain. Perilaku ini terkait dengan masih tingginya angka pengangguran. Selain juga, jiwa pemalas yang bersemayam di dalam raga sebagian orang Indonesia. Akh! Sebenarnya bukan Indonesia saja, karena saya seringkali membaca berita tentang kejahatan di kota-kota lain di berbagai penjuru dunia. The world is where good and evil collide, alright?
Ekonomi
Dari sudut pandang saya, daya beli orang Semarang itu rendah. Program potongan harga (discount) dan gratisan pasti diserbu oleh banyak orang, haha! Konsekuensinya, pembaruan (update) tentang barang-barang keluaran terkini menjadi lebih lambat. Contohnya, tentang komputer tablet. Saya pernah bertanya tentang produk ini dan salesperson yang bertugas di toko komputer menjawab “belum ada mas; ya kalau tidak, harus pesan (indent) dulu.” Halah! Ya, maklumlah, karena harga produk-produk baru pasti lebih mahal. Apalagi jika produk itu dibuat oleh pabrikan terkenal.
Untuk kebutuhan makan sehari-hari masih terjangkau. Kita tinggal memilih sesuai kemampuan finansial kita. Toh, yang penting perut kita terisi, tidak kelaparan, bukan? Hehe. Jangan berpikir tentang kehidupan bermewah-mewah. Lebih banyak orang yang hidup berkecukupan sehingga perilaku boros hendaknya kita kendalikan.
Transportasi
Dari tuturan beberapa orang dan cerita yang telah saya baca, Semarang adalah tempat berdirinya stasiun kereta api pertama di Indonesia. Benar atau tidaknya cerita ini, mohon anda ikut memeriksanya. Nama saja history (his + story), bukan? Bila demikian adanya, wah! Betapa istimewanya kota ini bagi perkembangan transportasi kereta api di tanah air? Hehe.
Masalah kemacetan lalu-lintas masih dapat dikendalikan. Justru kemacetan lebih sering terjadi di luar pusat kota, seperti di jalur arah ke Kabupaten Grobogan dan Demak (Jalur Surabaya), arah ke Kabupaten Kendal (Jalur Jakarta), dan arah ke Kabupaten Semarang (jalur Solo dan Yogyakarta).
Kesehatan
Kesehatan menjadi masalah tersendiri bagi wilayah perkotaan. Jelas bahwa wilayah perkotaan tidak dapat se-steril wilayah pedesaan yang memiliki tingkat keseimbangan lingkungan yang lebih tinggi. Apalagi Semarang juga memiliki banyak industri, misalnya di perbatasan Barat dan perbatasan Timur. Temperatur kota yang panas membuat banyak pendatang merasa gerah dan tidak tahan untuk berlama-lama tinggal di kota yang memang terletak di daerah pantai ini. Masalah kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah bagi segenap elemen kota, baik itu dinas kesehatan, masyarakat bisnis, dan warga setempat.
Di Semarang kita akan mengenal sebuah spesies hewan pengerat berupa tikus besar. Tikus besar ini dikenal dengan nama werok. Wah! Dibandingkan tikus-tikus kampung, werok ini jauh lebih kemproh (jorok) karena tinggalnya di comberan dan selokan. Jika ia mati, bau bangkainya minta ampuuun!!! Saking besarnya ukuran tubuhnya, kucing pun merasa segan untuk berkelahi dengannya. Padahal tikus adalah mangsa tradisional kucing, hehe.
Lain-lain
Ehm, apa ya yang perlu di bahas dalam bagian ini? Hihi…. Masalah prostitusi. Kata orang prostitusi telah ada sejak zaman dahulu kala. Semarang bebas prostitusi? Ah, siapa bilang?? Toh, bukan Semarang saja yang memilikinya. Saya kurang yakin jika di Indonesia ini terdapat sebuah kota besar yang bebas 100% dari pelacuran. Di Semarang juga terdapat lokalisasi, kok. Ojo sumelang… (hahaha!!).
Masalah pergaulan lebih terkendali lah. Memang benar bahwa situasi sekarang berbeda dari situasi 10-15 tahun yang lalu. Pergaulan sekarang sepertinya lebih dol haha! Ini terkait dengan masalah moral dan budi pekerti. Kita tidak boleh sepenuhnya menyalahkan para pelaku tersebut jika para pemimpin kita tidak mampu memberikan contoh yang baik. Masuknya budaya asing (dalam arti: asing bukan harus berasal dari luar negeri, melainkan asing yang tadinya belum ada) tanpa proses penyaringan mempengaruhi perubahan pandangan dan gaya hidup masyarakat. Tetapi secara keseluruhan, Semarang lebih sopanlah. Semoga tidak semakin dol saja lah. Amin.
Aha! Demikianlah refleksi dan ilustrasi saya tentang kota Semarang. Suka dan duka telah saya lakoni di ibukota Jawa Tengah ini. Banyak pengalaman yang saya peroleh, banyak hasil yang saya dapatkan (dalam arti, bukan sekedar hasil secara fisik, melainkan kedewasaan dan kematangan untuk bekal hidup selanjutnya). Masih banyak kisah yang tak terangkum dalam tulisan ini; masih banyak pula cerita-cerita yang mungkin dapat diungkapkan oleh orang lain yang tidak mampu saya ungkapkan di sini.
Tutup kelir
Dirgahayu Kota Semarang. Semoga semakin berjaya dan sukses. Seperti semboyannya, ‘Kota Atlas’, semoga bukan karena akronim atau singkatannya saja yang membentuk kata ‘atlas’, melainkan benar-benar menjadi sebuah atlas yang dapat menunjukkan arah tujuan. Tentunya, arah menuju sesuatu yang lebih baik. Syukur-syukur bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia.Tetaplah berkembang, tetaplah bergerak, dan tetaplah pertahankan keasliannya.
Matur nuwun...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H