Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tinggalkan istilah "Organik", beralihlah ke istilah "Lebih Organik"

17 Februari 2021   13:37 Diperbarui: 17 Februari 2021   13:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ujaran "kembali ke alam" berkumandang di mana-mana. Pengaruhnya mencapai all but bidang kegiatan manusia. "Kembali ke alam" memperkenalkan sejumlah istilah yang semestinya biasa namun kemasannya "mewah sekali", semisal kearifan lokal, go green, berbasis lingkungan, community-based, organik.

Obat organik, beras organik, pupuk organik, sayur organik, dan hal-hal lain yang "senasib seorganikan". Singkatnya, organik diartikan "minim bahan buatan pabrik (sintetik), maksi bahan alami (....organik itu tadi, ngehaha!).

Menggunakan kata "organik" adalah beban yang ultra-berat! Misalkan kita memiliki produk, hasil karya yang kita beri atribut organik. Karya itu memang organik (sebut saja demikian). Permasalahannya yalah, sejauh mana keorganikan hasil karya tersebut? Sebagai misal, saya memproduksi suatu makanan, kemudian makanan tadi saya komodifikasi dengan semboyan, "Ini Barang Organik". Lantas, apakah saya mampu mempertahankan proposisi makanan organik tersebut bilamana terdapat kawan-kawan yang sangat resourceful di dalam urusan ini, hingga paham mengenai siklus pembuatan makanan tadi? Saya pastikan akan saya akan menjadi kalang-kabut mempertahankan proposisi saya tersebut berdasarkan siklus pembuatan karena akan mengarah menuju keadaan yang "semakin tidak organik".

Simulasinya sebagai berikut. Siklus dari tempat saya memproduksi makanan menuju, misalnya, lokasi jualan, membawa makanan tadi dengan menggunakan sarana angkut bus yang berbahan bakar tidak organik. Bus tersebut menghasilkan emisi karbon (ditambah gelombang elektormagnetik dan pencemaran suara) dan bla... bla... bla... Sesampainya di tempat jualan saya masih ngeyel bahwa makanan yang saya jual adalah organik. Itu namanya berbohong!

Alinea di atas bercerita mengenai perpindahan hasil karya dari lokasi pembuatan ke lokasipemasaran. Alinea kali ini akan secara singkat membahas proses pembuatan makananannya. Misalkan makanan tersebut bernama sotho galeng. Saya harus mengetahui bagaimana singkong, sebagai bahan baku sotho galeng, ditanam? Bagaimanakah cara memperoleh singkong? Berapa liter minyak, berapa kilo gas, berapa watt listrik yang digunakan untuk memasak? Berapa kalori energi yang saya keluarkan untuk menjalankan proses dari mentah hingga matang? ... Ini saya sederhanakan karena masih banyak sekali pertanyaan yang lain bilamana kita hendak benar-benar mengulitinya.

Hal serupa berlaku untuk hasil karya lain, kegiatan lain, yang, tentunya melalui rangkaian proses yang berbeda. Saudara-saudara akan perlu alat tulis untuk membuat pertanyaan-pertanyaan guna mengetahui seorganik apakah hasil karya saudara. Hayoo, seorganik apakah karya saudara?

Kiranya ungkapan "lebih organik" lebih bijaksana daripada sekedar "organik".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun