Angan jauh sekali melayang menuju tahun 1958. Kala itu Indonesia (bersama Turki dan Burma) menarik diri dari babak kualifikasi Piala Dunia Swedia 1958 karena menolak bertanding melawan Israel. Sejak saat itu tidak ada lagi cerita sepakbola antara Indonesia dan Israel. Kita memang pernah bertanding melawan Israel, dejgan hasil akhir 0-1. Akan tetapi hal tersebut dalam terkubur oleh silang pendapat yang bermuatan politik (dan mungkin pula ideologi). Dengan kata lain, faktor "ketidaksukaan" terhadap Israel ini telah menggagalkan Indonesia untuk berkesempatan tampil di Piala Dunia. Padahal kala itu Indonesia adalah termasuk tim yang terkuat di Asia. Belum stabilnya kondisi sejumlah negara Asia juga ikut membantu reputasi tim kita. Peluang mewarnai Swedia 1958 itu sangat menganga, seperti halnya yang diraih Just Fontaine, Pele, Trio Gre-No-Li atau Mario Zagallo. Adalah "ego" pada sebuah sisi kehidupan yang mengalahkan segalanya.
Lebih dari setengah abad telah berlalu, ketika dunia mulai "mencair" dan "bersenyawa" sebagian masyarakat kita sepertinya masih merasa alergetik jika mendengar nama Israel. Akankah sikap apatetis total ini dipertahankan jika suatu saat nanti tim nasional Indonesia harus bertemu dengan tim nasional Israel dalam sebuah pertandingan sepakbola? Kataknlah, laga tersebut sangat menentukan, akankah kita memberikan kemenangan walk-out kepada mereka dengan menolak bertanding?
Pertandingan sepakbola antara Indonesia dan Israel memang tipis kemungkinan terjadi dalam niatan secara "disengaja" dan "sadar" karena kedua negara berada pada zona kompetisi yang berbeda, yakni AFC dan UEFA. Namun, ketika asa menjadi membumbung tinggi dengan puncaknya ikut serta dalam Piala Dunia, sebuah asa yang pastinya tertanam kuat dalam sanubari pelaku sepakbola Israel pula, lantas apakah artinya? Bahwa perjumpaan itu adalah sebuah kemungkinan. Entah dalam play-off antarwilayah atau dalam putaran final? Ya, siapa tahu???
Israel adalah seolah negara terlarang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Negara Yahudi tersebut seperti tampak jahat, buruk, biadab, tak berperikemanusiaan, pendosa. Apakah demikian naluri yang terpatri setiap kali nama Israel terdengar dan tersuratkan? Akankah kita korbankan kesempatan berharga demi kehormatan bangsa hanya Israel, sebuah negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia? Jika sepakbola berperan sebagai alat pemersatu bangsa-bangsa di dunia maka selayaknya kita tidak membuat pengecualian kepada siapapun. Jika politik luar negeri ingin diimplementasikan secara total maka tidak sewajarnya memilih-milih suatu bangsa. Ini sekedar harapan. Bahkan mungkin sekedar petingkah yang tidak lucu yang justru dihujani oleh cibiran penuh ketidakpercayaan. Namun, akankah kita yakin kepada kebenaran mutlak yang berlaku di dunia yang fana ini? Kemutlakan selain hidup, mati, dan jodoh? Mungkin Israel perlu dimasukkan ke dalam agenda pembahasan sepakbola nasional.
Ini pekerjaan rumah tersendiri bagi PSSI dan secara tidak langsung pemerintah selaku pengatur hubungan internasional. Siapa tahu bahwa suatu saat nanti Israel adalah tim yang harus dihadapi oleh Indonesia jika ingin lolos ke Piala Dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H