Padang Kurusetra, tempat perang akbar Bharatayudha berlangsung, Gatotkaca berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca. Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah pamannya, Kalabendana, tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu. Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca. Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Kurawa yang berada di sekitarnya. Sekarang kisah Gatotkaca di zaman modern…
Tahun 1995, Gatotkaca yang perkasa dalam cerita wayang di nusantara menjelma sebagai sebuah karya anak bangsa yang kala itu sangat kita banggakan, sebuah pencapaian teknologi yang luarbiasa bagi sebuah bangsa yang tengah berkembang: pesawat terbang. Saya masih ingat ketika menonton penerbangan perdana N-250 di TVRI, menyaksikan pesawat komuter buatan IPTN lepas landas ke angkasa, dan mendarat dengan sempurna. Pesawat ini menggunakan mesin baling-baling turboprop sebagai penggeraknya, tetapi telah menggunakan sistem kemudi elektronik serta sistem avionik tercanggih di kelasnya saat itu. Jadi, bila N-250 telah mengantongi sertifikasi-sertifikasi dari badan penerbangan internasional dan siap diproduksi massal, diproyeksikan N-250 akan laku keras dan mendominasi penerbangan-penerbangan komuter jarak dekat di seluruh dunia.
Rencana pengembangan N-250 pertama kali oleh pada Paris Air Show 1989. Pembuatan prototipe pesawat komuter dengan teknologi fly by wire pertama di dunia dimulai pada tahun 1992. Prototipe pertama terbang selama 55 menit pada 10 Agustus 1995. Menggunakan mesin turboprop 2439 KW dari Allison AE 2100 C, pesawat berbaling-baling 6 bilah ini mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang. Ketinggian operasi 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km.
Saya dan N-250 memiliki sebuah ikatan batin. Saya masih ingat tahun 1990 saat masih TK di Jogja, bapak bekerja sebagai insinyur IPTN di Bandung. Setiap dua minggu sekali beliau pulang, dan menceritakan perkembangan proyek N-250. Beliau dengan telaten menerangkan prinsip-prinsip aerodinamika, mesin yang digunakan di prototip pesawat, para ahli yang bekerja, dan betapa jeniusnya Pak Habibie. Di waktu senggang, beliau sering membawa saya ke bandara Adisucipto untuk melihat pesawat lepas landas dan mendarat. Dari sana kesukaan saya akan pesawat terbang tumbuh, dengan berpikir bahwa benda tersebut adalah benda yang paling keren di dunia. Berteknologi tinggi, bisa terbang, bisa bermanuver di angkasa, dan mengagumi sosok pilot-pilot gagah yang menerbangkannya. Sejak saat itu, hingga kelas 3 SMA dapat dipastikan di bagian belakang buku catatan pelajaran manapun, bisa ditemukan gambar pesawat.
Bapak hanya setahun bekerja di IPTN, sebelum akhirnya mendapat pekerjaan di tempat lain yang menawarkan penghidupan lebih baik. Bapak dan ibu mensyukuri keputusan ini saat awal dekade 2000-an melihat berita tentang IPTN yang merumahkan para insinyurnya, para pekerja keras yang dari tangan-tangan dan otak mereka telah tercipta sang Gatotkaca, menyadari bahwa nasib yang sama bisa saja terjadi pada keluarga kami. Nasib yang tak tentu membayangi mereka. Yang menyedihkan, meski secara keilmuan dan keahlian tinggi, namun tidak ada pekerjaan yang layak untuk mereka di republik ini. Di tahun-tahun itu juga kita hanya bisa menonton para ahli penerbangan kita berhamburan keluar negeri mencari penghidupan. Satu generasi ahli penerbangan Indonesia telah hilang.
Tahun 2010, saya menemani bapak ke Bandara Husein Sastranegara untuk penerbangan jarak dekat Bandung – Jogja. Maskapai yang melayani trayek ini adalah Wings Air, menggunakan ATR-72 buatan Perancis. Pada iklannya, Wings Air mempromosikan penggunaan ATR-72 sebagai pesawat jarak dekat yang nyaman dan canggih. Saya bertanya pada bapak, bukankah kelas ATR-72 dan N-250 sama? Daripada beli mahal dari asing, kenapa tidak gunakan saja N-250, yang bisa sekalian menghidupkan kembali IPTN? Beliau menjawab, N-250 memiliki keunggulan dari ATR-72: lahir lebih dulu. Kalau saja N-250 dilanjutkan hingga taraf produksi komersil, pesawat buatan nusantara ini bisa merajai pasaran untuk kelasnya.
Sayangnya, N-250 lahir di waktu yang salah. Hanya tiga tahun setelah penerbangan perdananya, krisis moneter dan instabilitas politik mengacaukan semuanya. Generasi yang seumuran dengan saya tentu masih ingat keadaan saat itu. Kondisi kacau dan serba kekurangan itu yang akhirnya memandulkan IPTN, menempatkan proyek N-250 pada nasib yang tak pasti. Pemerintahan kala itu mengiyakan tuntutan IMF untuk menonaktifkan proyek ini agar bantuan keuangan dapat cair. Kala itu banyak hal lain yang menjadi prioritas.
Kiprah bapak di IPTN memang pendek, hanya setahun, tapi itu adalah tahun yang penuh kesan di mana beliau menyaksikan sendiri kemampuan rekan-rekan bangsanya menapaki sebuah proyek berteknologi tinggi. Bapak saya mengenang kerja keras perencanaan, perhitungan, perakitan, uji coba para rekannya agar sang Gatotkaca bisa terbang. “Kamu tahu, duit yang dipakai untuk membantu bank-bank nakal saat krisis moneter menghabiskan lebih banyak, jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk menolong IPTN” ucapnya sambil menatap hangar dan gedung kantor PT DI di seberang landas pacu. Bapak berdiri termenung, memandang kosong bangunan yang menjadi kantornya dahulu dari balik kaca ruang tunggu.
Melihat gedung PT DI sekarang, saya membandingkannya dengan dua puluh tahun yang lalu ketika digandeng bapak masuk ke hangarnya. Kala itu penuh aktivitas, para pegawai dengan semangat bekerja membangun instrumen kebanggaan negeri.
Saya memiliki kenangan khusus akan Gatotkaca ini, tentang perjuangan bapak di dalamnya, yang menjadi pemicu saya untuk mengagumi pesawat dan mengisi imajinasi masa kecil dengan dunia dirgantara. Laksana di cerita wayang, jasad Gatotkaca yang sudah tak bernyawa pun masih dapat digunakan untuk membunuh prajurit Kurawa. N-250 yang mati suri, mungkinkah dapat menunjukkan kesaktiannya dari dalam hangar? Semoga Gatotkaca akan terbangun, kemudian menggeliat, terbang, dan memenuhi takdirnya semula untuk mengelilingi dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H