Mohon tunggu...
Tiyas Nur Haryani
Tiyas Nur Haryani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Administrasi Negara FISIP UNS, peminat studi gender, tinggal di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Kemolekan Solo Batik Carnaval 5 (SBC 5)

1 Juli 2012   05:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:23 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_191831" align="aligncenter" width="300" caption="Solo Batik Carnaval 5 saat tampil On The Street di Jl. Slamet Riyadi Surakarta(30/6)"][/caption]

Pergelaran Solo Batik Carnaval merupakan acara tahunan yang sudah dimulai sejak tahun 2008. Event ini merupakan inisiasi dari Pemerintah Kota Surakarta, sebagai upaya branding Kota Solo dikancah pariwisata. SBC 5 (30/6) menawarkan tema metamorfosis. Yang filosofinya adalah dari kain putih kemudian berubah menjadi batik yang cantik.

Tahun ke tahun evaluasi, perhelatan SBC 5 ternyata belum diikuti dengan kedewasaan dari pihak penyelenggara maupun dari para penonotonnya. Pertama, perhelatan SBC 5 kembali dikomersilkan, sama halnya saat perhelatan SBC 4. Hal ini menjadi amat disayangkan, karena karnaval tidak lagi menjadi pesta rakyat. Ada gap yang muncul, antara pemilik uang dan mereka yang tidak mampu dan/atau engggan membeli tiket untuk dapat menyaksikan para peserta Solo Batik Carnaval berlenggak-lenggok dan menari di atas karpet merah. Meski demikian, SBC tetap tidak melupakan rakyat, karnaval jalan di Jl. Slamet Riyadi Solo tetap dilakukan agar rakyat Kota Solo dan sekitarnya tetap bisa menikmati sebagai kecil mewahnya perhelatan SBC 5 indoor, yang memangrombongan karnaval yang melakukan aksi outdoor tidak berbanding lurus dengan besarnya animo masyarakat yang menunggu rombongan karnaval berjalan.

Kedua, edukasi budaya yang sebenarnya menjadi absurd saat SBC hanya mampu menampilkan tata rias dan tata busana yang mampu membuat penontonnya terkesan. Penonton, belum mampu mengenali dimana letak seni batik yang disuguhkan, apalagi ketika SBC dilaksanakan malam hari yang minim penerangan, sehingga motif batik kurang begitu jelas terlihat. Lukisan batik pada kain-kain yang digunakan sebagai bahan dasar busana menjadi kalah menonjol dibanding dengan kemewahan tata busana yang berhasil didesain oleh para peserta. Penonton, pada khususnya masyarakat Kota Solo juga hanya akan mengagumi kemeriahan busana-busana SBC yang ditampilkan, lagi-lagi melewatkan edukasi menyoal macam-macam corak batik yang diproduksi para perajin batik Kota Solo. Berbeda dengan perhelatan SBC jauh diawal sebelum SBC 5, Pemkot Solo juga turut memberikan edukasi budaya terkait ragam corak batik yang diproduksi perajin di Kota Solo.

[caption id="attachment_191832" align="aligncenter" width="300" caption="Penonton SBC 5 yang terus mencoba merangsek ke tengah jalan (30/6)"]

13411214501916210202
13411214501916210202
[/caption] Ketiga, masalah manajemen penonton memang masih menjadi masalah klasik saat event karnaval di gelar, masyarakat masih pada tataran kesadaran naif. Mereka sudah paham betul, bahwa untuk menikmati karnaval yang memuaskan penonton juga harus berlaku tertib dan rapi di tepi jalan menyaksikan karnaval berlenggak-lenggok di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi yang menjadi area catwalk. Penonton masih saja mencoba merangsek ke tengah, semuanya ingin dekat dengan rombongan karnaval, menggambil gambar, bahkan foto bersama peserta karnaval di tengah berjalannya karnaval. Kondisi demikian mamng belum ditemukan formulasi yang pas dalam mengatur ketertiban penonton karnaval.

[caption id="attachment_191833" align="aligncenter" width="300" caption="Sampah yang berserakan di rute karnaval masih menjadi persoalan klasik."]

1341121670270347765
1341121670270347765
[/caption] Keempat, hal yang biasa setelah event kota digelar adalah menumpuknya sampah kota. Masyarakat Solo yang memiliki program BERSERI (Bersih Sehat Rapi Indah) belum mampu sadar kritis terkait pengelolaan sampah. Mereka masih terbiasa dan membiasakan diri membuang sampah sembarangan saat menyaksikan karnaval kota. Hal ini harus dirubah, jika memang tidak bisa dilakukan secara masif maka dimulai dari masing-masing individi harus mulai sadar dan mengaplikasikan tindakan nyata menjaga lingkungan. Minimal, saat perhelatan karnaval kota seperti ini, kita harus terbiasa bertindak BERSERI. Jika memang, SBC terus menjadi perhelatan tahunan untuk mendongkrak pariwisata dan edukasi budaya Kota Solo, maka harapan ke depan tentunya tumbuh kedewasaan dari semua pihak untuk mensukseskan event ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun