Mohon tunggu...
Tiyas Nur Haryani
Tiyas Nur Haryani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Administrasi Negara FISIP UNS, peminat studi gender, tinggal di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Terapi Menulis bagi Perempuan Korban Kekerasan

31 Juli 2013   16:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13752645191720625510

Buku “The Lost Girl” : Kesuksesan Terapi Menulis dalam Rehabilitasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

[caption id="attachment_269849" align="aligncenter" width="115" caption="Gambar diambil dari www.4sayap.wordpress.com "][/caption]

Buku “The Lost Girl” karya Caroline Roberts mungkin jarang khalayak perbincangkan. Buku ini memang tidak sefantastis karya best seller. Akan tetapi buku autobiografi yang terbit pada 2007 dari PT Gramedia Pustaka Utama ini mampu menginspirasi kita semua dan mengenalkan kehebatan terapi menulis. Buku “The Lost Girl” bercerita tentang kisah perjuangan perempuan korban pelecehan seksual untuk bangkit dari trauma buruknya di masa lalu. Buku setebal tiga ratus dua puluh empat halaman ini ditulis dengan gaya penulisan diary. Mengalir seperti catatan harian dari pemilik rasa yang dituangkan. Penulis menuangkan pengalaman hidupnya dalam setiap lembar naskah buku tersebut.

Kejadian kelam yang dialami oleh Caroline sekiranya banyak juga dialami oleh perempuan lain. Kita tahu bahwa kekerasan berbasis gender masih terus menghantui kehidupan perempuan pada umumnya. Negara belum mampu memberikan perlindungan sepenuhnya bagi perempuan korban, terlebih di lingkungan yang masih kuat akan patriakinya belum mampu memberikan pelayanan penanganan pada perempuan korban kekerasan berbasis gender. Imunitas bagi laki-laki pelaku kekerasan juga masih muncul dalam terkuaknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Lingkungan sekitar belum mampu tumbuh responsivitasnya dalam penanganan terhadap korban kekerasan seksual berbasis gender. Para pendamping maupun orang-orang di sekitar korban masih banyak yang menyalahi prinsip pendampingan, salah satunya adalah prinsip dimana perempuan korban kekerasan tidak boleh dipersalahkan dalam proses pendampinganya, judgement pada perempuan korban masih kerap muncul.

Pengalaman pahit Caroline dialami ketika Ia berusia 6 tahun dimana ia hampir mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Ia selamat dari pelecehan seksual itu, namun ayah tirinya menyalahkan Caroline atas apa yang ia alami.Kisah selanjutnya terjadi saat Caroline mengenal keluarga Fred dan Rose West. Fred dan Rose adalah pasangan suami istri yang aneh. Mereka memiliki kebiasaan seksual yang aneh. Fred adalah seorang yang memiliki nafsu seksual yang liar dan tak tertahankan. Sementara itu, Rose adalah seorang biseksual. Caroline malang diperkosa oleh Fred dan Rose.

Dampak buruk yang Caroline rasakan Ia semakin memandang rendah dirinya. Caroline tentu ingin dicintai dengan tulus, namun ia tidak merasa pernah mendapatkannya. Tidak ada orang luar yang mengetahui pergumulannya. Ia mengubur lukanya, agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia terjebak dan terjerat, tak tahu bagaimana cara melepaskan diri.

Narative Healing

Kondisi yang ada seperti halnya pengalaman milik Caroline membuat para perempuan korban biasanya bersikap tertutup atas pengalamannya tersebut, menganggap hal tersebut adalah aib keluarga dan pantas untuk disimpan rapat-rapat. Dampak buruknya menimbulkan penanganan yang terlambat bagi korban. Hal semacam ini tidak terjadi dalam kurun waktu selama hidup Caroline. Caroline meskipun ia harus tertarih menerima dan mengalami trauma kekerasan seksual yang dialaminya. Ia didera rasa takut, malu dan terlebih lagi sakit fisik dan hati yang diterimanya. Derita korban kekerasan seksual berbasis gender seperti yang dialami Caroline terlihat hilang, air mata di pipinya memang telah kering tapi ternyata selalu membayang sepanjang sisa hidupnya.

Caroline menyembuhkan luka batinnya dengan terapi menulis. Caroline menuliskan lukanya dan bersedia membagi lukanya pada khalayak ramai. Terapi ini akan menolong orang yang mengalami trauma, depresi dan tekanan batin untuk sembuh dari luka-luka batinnya dengan mengundang setiap orang yang terluka untuk mengakui luka-lukanya.Caroline menggunakan metode narrative healing dalam menyembuhkan luka-lukanya. Ia menuliskan lukanya menjadi karya inspiratif bagi pembaca. Caroline memerlukan waktu 10 tahun untuk menuliskan buku ini. Menulis menjadi terapi dalam hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun