Mohon tunggu...
Tiyas Nur Haryani
Tiyas Nur Haryani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Administrasi Negara FISIP UNS, peminat studi gender, tinggal di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buat Kalian yang Sukanya Bilang Buka Dikit Joss

8 September 2013   19:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:11 3299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13786418251983513341

Hei kenapa kamu kalau nonton dangdut sukanya bilang “buka dikit joss”,

Apa karena pakai rok mini jadi alasan,

Sukanya Abang ini lihat-lihat bodiku yang seksi,

Senangnya Abang ini intip-intip ku pakai rok mini [caption id="attachment_277378" align="aligncenter" width="467" caption="Gambar diambil dari www.bubblews.com"][/caption]

Lirik lagu dangdut diatas tentunya telah akrab di telinga kita. Lagu dangdut ini selalu diputar setiap moment acara sahur di salah satu televisi swasta dan kemudian berhasil menjadi trending di masyarakat. Dangdut di Indonesia terus mengalami fluktuasi terkait kedalaman makna liriknya. Selain itu, dangdut kita dari gaya yang santun telah bertransformasi dewasa ini diidentikan dengan perempuan, seksi dan rok mini seperti lirik lagu diatas.

Representasi perempuan dalam dangdut dapat kita awali dari era Elvy Sukaesih. Tahun 1970-an Elvy Sukaesih pernah membawakan lagu dangdut dengan nafas menggugat budaya patriaki. Tahun 2000-an dangdut santun khas Elvy Sukaesih dan/atau Ikke Nurjana tidak mampu mengikuti permintaan pasar hiburan dangdut sejak goyang ngebor Inul hadir. Inul menjadi komoditi patriarki, yakni konsumer utamanya terdiri daripada kaum lelaki (Oetomo 2003). Fakta diatas menjadi potret dehumanisasi perempuan dan komodifikasi tubuh perempuan dalam hiburan dangdut. Hal ini menjadi awal mula transformasi wajah dangdut kita.

Semiotika tanda dalam goyang ngebor Inul telah mencerai-beraikan makna tarian dalam musik dangdut ke dalam potongan-potongan tubuh perempuan. Kemunculan Inul dengan goyang ngebornya dan diikuti oleh Dewi Persik dengan goyang gergajinya serta lahirnya Trio Macan menjadi kontroversi dan pencekalan terhadap dangdut bagi para penyanyi tersebut. Genre erotis dan wacana erotika mencuat sebagai alasan kontroversi goyang dangdut dan tampilan seksi perempuan pedangdut.

Berawal dari penampilan dangdut di era Inul Daratista, muncul polarisasi dalam masyarakat serta memiliki potensi besar mempengaruhi moraliti masyarakat. Era selanjutnya, perempuan belajar dari Inul, Dewi Persik dan Trio Macan lantas kembali kepada dangdut santun.

Kekerasan Berbasis Gender

Kemunculan artis dangdut di acara televisi memang telah kembali berpenampilan santun, akan tetapi bagaimana di panggung dangdut festival. Ada banyak sekali grup dangdut yang berkiprah di panggung-panggung festival pelosok tanah air, tidak hanya di titik kota tapi hadir hingga masuk desa. Dangdut-dangdut festival masih menampilkan rok mini perempuan dan goyang erotis mereka dengan alasan mengikuti pasar industri hiburan dan mitos kecantikan pedangdut. Tak heran jika kemudian muncul celotehan kaum laki-laki dengan teriakan “buka dikit joss” saat dangdut dihentakkan di atas panggung. Perempuan masih menjadi obyek dalam dangdut.

Disitulah sebetulnya telah terjadi kekerasan berbasis gender, dalam bentuk pelecahan seksual. Riant Nugroho (2008) menuliskan bahwa pelecehan seksual yang umum terjadi adalah unwanted attention from men, penyampaian lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif. Selain itu juga ada ketimpangan gender dengan bentuk stereotip yang muncul dalam anggapan perempuan bersolek dilakukan untuk memancing perhatian lawan jenisnya, sehingga pada kasus kekerasan maupun pelecehan seksual perempuan yang dipersalahkan. Stereotip mengakibatkan diskriminasi, seperti halnya kalangan masyarakat Indonesia ada semacam dubble moral, jika perempuan yang melanggar batas kesopanan mereka akan dicela, tetapi jika yang melakukan adalah seorang laki-laki maka hanya dimaklumi saja (Irwan Abdullah, 1997).

Perempuan dalam dangdut mengalami stereotip dikarenakan penampilan dan goyangan seksinya. Mereka menjadi kelompok beresiko tinggi yang rentan terhadap kekerasan seksual berbasis gender. Feminis eksistensialis, Simone De Bauvior tidak menyebutkan adanya subjektivitas bagi perempuan. Eksistensi perempuan dihadirkan bukan pada dirinya atau untuk dirinya sendiri, melainkan realitas dibentuk dari pandangan patriaki (Mariana Amiruddin, Jurnal Perempuan 67/2010). Pantas jika kemudian pedangdut Juwita Bahar mengkritik para laki-laki yang suka minta buka dikit joss saat mereka melihat dangdut. Lagu ini menjadi kritik bagi patriaki dan ketimpangan gender.

Lirik lagu “Buka Dikit Joss” menggambarkan bahwa posisi wanita kurang beruntung dan dirugikan oleh laki-laki akibat relasi kuasa. Lewat lagu dangdut terbaru ini, golongan perempuan berupaya memperjuangkan hak atas tubuh perempuan. Lewat lagu “Buka Dikit Joss” perempuan menggugat patriaki dan ketimpangan gender dalam bentuk stereotip citra perempuan dalam dangdut. Akan tetapi bagi perempuan sendiri, jangan sampai lirik tersebut menjadi pembenaran diri mereka untuk tunduk dalam komodifikasi tubuh perempuan yang menguatkan patriaki. Lagu “Buka Dikit Joss” yang dilantunkan Juwita Bahar telah menunjukkan keberdayaan kaum perempuan dalam keberhati-hatiannya terhadap golongan lelaki dan telah memperlihatkan keberdayaan perempuan berfikir dan mempunyai pengetahuan untuk bargaining position mereka menghadapi relasi kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun